Pengertian
Pendidikan Demokratis
Pendidikanyang demokratis adalah pendidikan yang memberikan kesempatan yang sama kepada
setiap anak untuk mendapatkan pendidikan di sekolah sesuai dengan kemampuannya.
Pengertian demokratis di sini mencakup arti baik secara horizontal maupun
vertikal.
Maksud demokrasi secara horizontal adalah bahwa setiap
anak, tidak ada kecualinya, mendapatkan kesempatan yang sama untuk menikmati
pendidikan sekolah. Hal ini tercermin pada UUD 1945 pasal 31 ayat 1 yaitu :
“Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”. Sementara itu, demokrasi
secara vertikal ialah bahwa setiap anak mendapat kesempatan yang sama untuk
mencapai tingkat pendidikan sekolah yang setinggi-tingginya sesuai dengan
kemampuannya.
Sedangkan dalam pendidikan itu sendiri, demokratis ditujukan
dengan pemusatan perhatian suatu usaha pada si anak didik dalam keadaan
sewajarnya, (intelegensi, kesehatan, serta keadaan sosial), dikalangan taman
siswa dianut sikap Tutwuri Handayani, suatu sikap demokratis yang
mengakui hak si anak untuk berkembang menurut kodratnya.[1] sehingga
Demokratis dapat diartikan sebagai sistem pendidikan yang mampu menawarkan
kemungkinan kepada peserta didik untuk dapat berkembang dan mengasah kemampuan
nalar dan pemikirannya secara bebas, serta mengembangkan potensi intelaktual
siswa melalui pendidikan formal.
Dengan demikian, demokrasi pendidikan merupakan
pandangan hidup yang mengutarakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan
yang sama di dalam berlangsungnya proses pendidikan antara pendidik dan anak
didik serta juga dengan pengelola pendidikan. Karena itulah pendidikan
demokratis dalam pengertian yang luas patut selalu dianalisis sehingga
memberikan manfaat dalam praktek kehidupan dan pendidikan yang paling tidak
mengandung hal-hal sebagai berikut :
1.
Rasa hormat terhadap harkat sesama manusia
Demokrasi pada prinsip ini dianggap sebagai pilar
pertama untuk menjamin persaudaaan hak manusia dengan tidak memandang jenis
kelamin, umur, warna kulit, agama dan bangsa. dalam penddidikan, nilai-nilai
inilah yang ditanamkan dengan memandang perbedaan antara satu dengan yang
lainnya baik hubungan antara sesama peserta didik atau hubungan dengan gurunya
yang saling menghargai dan menghormati.
2.
Setiap manusia memiliki perubahan kearah pikiran
yang sehat.
Dari prinsip inilah timbul pandangan bahwa manusia itu
harus di didik, karena dengan pendidikan itu manusia akan berubah dan
berkembang kearah yang lebih sehat, baik dan sempurna. Oleh karena itu, sekolah
sebagai lembaga pendidikan di harapkan dapat mengembangkan kemampuan anak didik
untuk berpikir dan memecahkan persoalan-persoalannya sendidri secara teratur,
sistematis dan komprehensif serta kritis sehingga anak didik memiliki wawasan, kemampuan dan kesempatan
yang luas.
3.
Rela berbakti untuk kepentingan dan kesejahteraan
bersama
Dalam konteks ini,pengertian demokrasi tidaklah
dibatasi oleh kepentingan
individu-individu lain.dengan kata lain, seseorang menjadi bebas karena orang lain menghormati kepentingannya.
Oleh sebab itu, tidak ada seorang yang karena kebebasannya berbuat sesuka
hatinya sehingga merusak kebebasan orang lain atau kebebasan sendiri.[2]
Dengan demikian, gagasan reformasi pendidikan saat ini
memiliki momentum yang amat mendasar, dan berbeda dengan gagasan yang sama pada
era sebelumnya. Salah satu perubahan mendasar dari reformasi pendidikan dalam
era reformasi ini adalah lahirnya UU No. 22 Tahun 1999, serta UU No. 20 Tahun
2003 tentang sitem pendidikan nasional (SISDIKNAS). Kedua undang-undang
tersebut membawa perspektif baru yang amat revolusioner dalam kontek perbaikan
sector pendidikan, yang mendorong pendidikan sebagai urusan public dan urusan
masyarakat secara umum dengan mengurangi otoritas pemerintah baik dalam
kebijakan kurikulum, manajemen maupun berbagai kebijakan pengembangan institusi
pendidikan itu sendiri.
Gagasan reformasi ini sejalan dengan pemikiran Decker
F. Walker yaitu Reformasi pendidikan tidak cukup hanya perbaikan dan perubahan dalam
sector kurikulum, baik struktur maupun prosedur perumusannya, serta pola
pengelolaan sekolah yang berbasis pada masyarakat, namun siswa-siswanya sendiri
harus diberi arah pandangan tentang belajar itu sendiri, bahwa bersekolah
sebuah formalitas tetapi harus memperoleh kompetensi-kompetensi yang telah
ditentukan.[3]
Peranan pendidikan dalam kehidupan kenegaraan akan
banyak memberikan dimensi pembangunan karakter bangsa. Aktualisasi karakter
masyarakat dapat mambentuk nilai-nilai budaya yang tumbuh pada komonitas
lingkungan sosial politik baik dalam bentuk berfikir, berinisiatif, dan aneka
ragam hak asasi manusia. Dengan demikian, pendidikan senantiasa melahirkan tata
nilai kehidupan masyarakat dalam sistem kenegaraan yang di anut oleh suatu
kepemerintahan.
Pada kondisi negara yang memiliki heterogenitas
masyarakat, cenderung menerapkan sistem demokrasi dalam menjalankan roda
pemerintahan. Konteks demokrasi secara sederhana menunjukkan adanya
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Perinsip utama dalam
penerapan alam demokrasi adalah adanya pengakuan atas kebebasan hak individual
terhadap upaya untuk menikmati hidup, sekaligus dalam mekanisme menjalankan
kewajiban sebagai warga Negara. Sehingga, pada gilirannya dapat membentuk
kondisi commonity development pada nilai-nilai keberagaman, baik berfikir,
bertindak, berpendapat maupun berkreasi.
Di samping itu ada beberapa analilisis rasional
mengapa reformasi pendidikan itu mutlak dilakukan dalam menghadapi era
globalisasi, dengan mengadaptasi argument-argument William J. Mathis yaitu :
1.
Perubahan pola pikir masyarakat akibat demokratisasi
yang terus berpenetrasi pada seluruh aspek kehidupan, sehingga sekolah harus
mampu memberikan layanan kepada masyarakat .
2.
kemajuan teknologi dan kecanggihan alat-alat teknologi
semakin mengivisiensikan proses industri dan layanan jasa. Dengan demikian,
pendidikan harus mempersiapkan SDM agar tidak tergeser oleh alat-alat moderen
itu, tapi justru menjadi bagian dari kemajuan-kemajuan tersebut.
3.
Pemahaman doktrin keagamaan kian terbuka dan inklusif.
Agama tidak menjadi penghalang kemajuan, tapi justru mendorong
perubahan-perubahan untuk kebaikan.
4.
Peranan wanita semakin kuat, posisi wanita tidak lagi
marginal. Mereka memiliki hak dan peluang yang sama dalam karir dan pekerjaan
dengan pria.tidak ada diskrininasi pekerjaan atas dasar gender.[4]
Demokratisasi pendidikan bukan hanya sekedar prosedur,
tetapi juga nilai-nilai pengakuan dalam kehormatan dan martabat manusia. Dalam
hal ini melalui upaya demokratisasi pendidiakan diharapkan mampu mendorong munculnya
indifidu yang kreatif, kritis, dan produktif
tampa
mengorbankan martabat dan dirinya. Kehidupn demokrasi dalam bidang pendidikan
merupakan tindakan menghargai keberagaman potensi indifidu yang berada dalam
kebersamaaan. Dengan demikian segala bentuk penyama rataan individu dalam satu
unformitas dan pengingkaran terhadap keunikan sifat-sifat indifidu bertentangan
dengan salah satu prinsip demokrasi. Dari hak-hak warga Negara dalam mengikuti
pendidikan tersebut tersirat adanya dua hal penting yaitu : Pertama,
pemerolehan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan dalam batas tertentu yakni
pada level pendidikan dasar sembilan tahun. Kedua, adanya peluang untuk
memilih satuan pendidikan sesuai dengan karakteristiknya. [5]
Secara histories, istilah ini memang berasal dari
barat, namun jika melihat dari segi makna, kandungan, nilai-niai yang ingin
diperjuangkan oleh demokrasi itu sendiri sebenarnya merupakan gejala dan
cita-cita kemanusiaan secara universal. Artinya, dalam beragam macam peradapan
manusia seperti mesir, cina, Persia ,
India
dan sebaginya, sesunggunya memiliki pemikirannya sendiri dalam memahami dan
memperjuangkan hak-hak individu dan kemanusiaan, dan memiliki sejarahnya
sendiri dalam memerangi otoritarianisme dan kediktatoran. Ini berarti jika
demokrasi itu berjuang pada pembelaan hak dan martabat manusia, maka tidak
dapat disangkal bahwa demokrasi merupakan gejala kemanusiaan secara universal.
Bertolak dari gagasan tersebut dapat dipahami;
demokrasi dalam kenyataannya mengambil dua bentuk ya itu; demokrasi dalam makna
universal, iya merupakan gagasan obyektif yang menjadi cita-cita setiap manusia yang diperjuangkan setiap orang.
Ini berarti demokrasi dalam tatanan ide universal yang belum bersentuhan dengan
ruang dan waktu yang biasanya cenderung tidak terjadi perbedaan dalam
idalitasnya. Begitu pula selanjutnya demokrasi yang bertitik tolak dari desakan
realitas sosial sebagai penjelmaan ide yang ditafsirkan, yang telah bersentuhan
dengan ruang dan waktu, yang merupakan produk atau hasil dialog antara gagasan
dan kenyataan kehidupan yang beranikaragam. Demokrasi dalam pengertian seperti
ini bersefat temporal, berubah-ubah dan mengambil bentuk yang jamak.
Dalam pendidikan, demokrasi ditunjukkan dengan
pemusatan perhatian serta usaha pada si anak didik dalam keadaan sewajarnya
(Intelegensinya, kesehatannya, keadaan sosialnya dang sebagainya). Dikalangan
taman siswa di anut sikap tuthuri handayani suatu sikap demokratis yang
mengakui hak si anak untuk tumbuh dan berkembang menurut kodratnya.
Dengan demikian pembebasan haruslah memperhatikan aspek-aspek
tertentu. Ini untuk menghindari terjadinya pembiasaan makna pembebasan s ebab, seringkali
pembebasan di artikan sebagai pertolongan; suatu arti yang tidak tepat sama
sekali. Alasannya pertolongan berpotensi menciptakan ketergantungan.
Ketergantungan itu sendiri, menurut Freire adalah titik lemah. Oleh karena itu,
praktek pembebasan juga harus memahami ketergantungan itu sebagai titik lemah
dan harus mencoba lewat refleksi dan tindakan untuk mengubahnya menjadi
ketidaktergantungan.[6]
Pendidikan demokratis memiliki konsekuensi bagi
terbentuknya desentralisasi kewenangan, di mana pengelolaan pendidikan akan
banyak di tentukan oleh pelaksana langsung, baik pengelola, tenaga
kependidikan, maupun masyarakat dalam menciptakan isi (materi) sistem pembelajaran, termasuk
pengembangan kualitas peserta didik. Disisi lain, pendidikan demokratis akan
berdampak pula pada aspek kurikulum, efisiensi administrasi, pendapatan dan
biaya pendidikan, serta pemerataan terhadap perolehan pendidikan masyarakat.
Usaha sosialisasi demokrasi di Indonesia melalui jalur pendidikan
formal nampaknya masih membutuhkan jalan panjang. Reformasi orientasi
pendidikan kewarganegaraan sudah semestinya dilakukan baik peraturan, materi
maupun pelaksanaannya di lapangan. Orientasi pendidikan kewarganegaraan yang
bertujuan untuk mengembangkan sikap demokratis dan daya kritis peserta didik
selayaknya di jadikan common plat-form para pengambil kebijakan
pendidikan nasional. Kesamaan
pandangan ini selanjutnya dapat
dituangkan kedalam penyusunan kurikulum yang sejalan dengan semangat dan
tuntutan demokrasi.
Menurut A. Ubaidilllah, pendekatan belejar ini, memusatkan perhatian
pada kemampuan analisis anak terhadap pengetahuan dan pemahaman yang mereka
miliki, dan guru mengarahkannya untuk belajar mandiri dan bertanggung jawab
terhadap apa yang mereka pelajari. [7]
Adapun pendidikan demokratis berkaitan dengan
bagaimana proses pendidikan di laksanakan, baik di tingkat pusat maupun lokal. Sistem pendidikan yang
selalu mengandalkan kekuasaan pendidik tanpa memperhatikan pluralisme subjek
pendidik, sudah saatnya harus di inovasi agar tercipta civil society. Suasana pendidikan yang
demokratis akan mendorong tumbuhnya iklim egalitarian (kesamaan atau kesetaraan
derajat dalam kebersamaan) antara peserta didik dan pendidik. Secara sederhana,
demokratisasi pendidikan dapat di artikan proses pendidikan yang di laksanakan
sesuai dengan cita-cita dan kehendak Civil Society (Masyarakat kecil)
Pandangan dan analisis di atas setidaknya
merefleksikan beberapa faktor penting yang mendasari pentingnya pendidikan
demokratis, yaitu;
1.
kegagalan pendidikan yang telah dilalui beberapa tahun
silam dengan indikator rendahnya kualitas rata-rata hasil belajar siswa yang
akan memasuki jenjang perguruan tinggi.
Perkembangan perekonomian dunia yang membuka akses pasar global, yang
semuanya itu merupakan peluang sekaligus ancaman, yang harus dihadapi dengan
kesiapan kualitas SDM kompetitif
[1].
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Peresada,1999), hal. 242.
[2] . . A.
Ubaidilllah, Demokrasi, Hak Asasi Manusia
dan Masyarakat Madani, (Jakarta
: ICCE Syarif Hidayatullah, 2000) , hal.243-244.
[3] . Dede
Rosyda, Pradigma Pendidikan Demokratis, (Jakarta : Prenada Media,
2004), hal 13-14
[4] . Ibid.
hal 10-11.
[5] . Sasmanto dalam http://Demokrasi
Pendidikan.blogspot.com/2007/11/Kajian pada
jenjang pendidikan dasar.html. 14.04.2011.
[6] . Hanif
Dhakiri ,Islam Dan Pembebasan, (Jakarta : Perpustakaan Nasional, 2000), hal. 134
[7]. A Ubaidilllah mokrasi dan Demokrasi Pendidikan Kewarga Negaraan Diperguruan Tinggi
,Sumber \sy. Snarharapan.co.id/010929/0pi01.dalam.l.02.05.2011.
Labels:
Pendidikan,
Pengajaran
Thanks for reading Pengertian Pendidikan Demokratis. Please share...!