PERSOALAN-PERSOALAN METAFISIKA YANG BERLAWANAN DENGAN ISLAM
Menurut Al-Ghazali ada tiga fikiran filsafat metafisika
yang sangat berlawanan dengan Islam, dan yang oleh karenanya para
filosuf-filosuf harus dinyatakan sebagai orang atheis ialah:
1. Qadimnya
alam
2. Tidak
mengetahuinya Tuhan terhadap soal-soal peristiwa-peristiwa kecil, dan
3. Pengingkaran
terhadap kebangkitan jasmani
Alasan-alasan 3 soal tersebut,beserta bantahannya
dari Al-Ghazali,kami sebutkan di bawah ini :
Qadimnya alam
Filosuf-filosuf mengatakan,bahwa alam ini qadim.
Qadimnya Tuhan atas alam sama dengan qadimnya Illat atas ma'lulnya (sebab atas
akibat),yaitu dari segi zat tingkatan, bukan dari segi zaman. Berikut ini kami
sebutkan alasan-alasan mereka, berikut juga bantahan-bantahan dari Al-Ghazali.
Alasan Pertama
Tidak mungkin wujud yang baru,yaitu alam, keluar dari
qadim (Tuhan), karena dengan demikian berarti kita bisa membayangkan bahwa yang
Qadim tersebut sudah ada, sedangkan alam belum lagi ada.
Tentang mengapa alam ini belum wujud,maka hal ini
disebutkan pada waktu itu hal-hal yang menyebabkan wujudny belum lagi ada. Jadi
pada waktu tersebut alam ini baru merupakan suatu kemungkinan murni (artinya
bisa wujud dan bisa tidak wujud).
Sesudah waktu tersebut datang, maka alam ini menjadi
wujud, dan wujud ini disebabkan karena faktor-faktor yang menyebabkan wujudnya.
Tetapi timbul pertanyaan, mengapa faktor-faktor tersebut baru timbul pada waktu
itu, dan tidak timbul sebelumnya. Kalau dikatakan bahwa Tuhan mula-mula tidak
berkuasa mengadakan alam,kemudian menjadi berkuasa untuk mengadakannya,maka
timbul pula pertanyaan,mengapa kekuasaan itu baru timbul pada masa tersebut,
bukan pada masa sebelumnya.
Atau kalau dikatakan, Tuhan sebelumnya tidak mempunyai
tujuan (maksud) bagi wujudnya alam, kemudian maksud ini timbul, maka pertanyaan
yang muncul juga sama, yaitu mengapa tujuan itu timbul.
Jawaban Al-Ghazali
Apa keberatannya kalau dikatakan bahwa iradat (kehendak
Tuhan) yang qadim menghendaki wujud alam pada waktu diwujudkannya.
Boleh jadi timbul pertanyaan, kalau yang dimaksud
dengan iradat yang qadim itu seperti niatan kita untuk mengadakan sesuatu
perbuatan, maka perbuatan tersebut tidak mungkin terlambat, kecuali karena ada
halangan.
Sedangkan bagi Tuhan sebagai zat yang mengadakan
perbuatan, sudah lengkap syarat-syaratnya dan tidak ada hal-hal yang perlu
dinantikan lagi, tetapi perbuatannya
terlambat juga.
Jawab Al-Ghazali ialah bahwa perkataan tersebut tidak
lebih kuat dari pada perkataan mereka yang mempercayai kebaharuan alam karena
kehendak yang qadim.
Timbul pula pertanyaan lain yaitu, bahwa nilai semua
waktu dalam pertaliannya dengan kehendak adalah sama, tetapi mengapa satu waktu
dipilih untuk mewujudkan alam, dan waktu yang sebelumnya atau sesudahnya tidak
dipilih?
Jawab Al-Ghazali, ialah bahwa arti kehendak (iradat)
ialah memungkinkan untuk membedakan
sesuatu dari lainnya. Kehendak Tuhan adalah mutlak, artinya bisa memilih suatu
waktu tertentu, bukan waktu lainnya, tanpa ditanyakan sebabnya, karena sebab tersebut adalah kehendak-Nya itu
sendiri. Kalau masih ditanyakan sebabnya, maka artinya kehendak Tuhan itu
terbatas, tidak lagi bebas, sedangkan kehendak itu bersifat bebas mutlak.
Alasan kedua
Tuhan lebih dahulu dari pada alam,bukan dari segi
zaman, melainkan dari segi pribadi (tingkatan ,zat) seperti terlebih dahulunya
bilangan satu atas dua ;atau dari segi causalitas, seperti dahulunya gerakan
seseorang atas gerakan bayangannya, sedang kedua gerakan tersebut sebenarnya
sama-sama mulai atau sama-sama berhentinya, artinya dari segi zaman.
Kalau yang dimaksud dengan terlebih dagulunya Tuhan
atau alam ini ialah dari segi zaman, maka kelanjutannya ialah:
- Tuhan dan alam baharu kedua-duanya, atau
- Tuhan dan alam qadim kedua-duanya, dan mustahil
salah satunya qadim, sedang yang
lain baru.
Kalau yang dikehendaki dengan perkataan “Tuhan lebih
dahulu daripada alam dan zaman”, dari segi zaman, bukan dari segi zat, maka
artinya, sebelum wujud alam dan zaman tersebut, sudah terdapat suatu zaman,
dimana ‘adam (tidak ada) murni terdapat didalamnya, sebagai hal yang mendahului
wujud alam. Jadi Tuhan telah mendahului alam dengan suatu masa yang terbatas
pada ujungnya yang satu, yaitu dengan adanya alam, tetapi tidak terbatas pada
ujungnya yang lain, karena permulaan wujud Tuhan tidak ada batasnya.
Dengan perkataan lain, sebelum terdapat zaman dimana
alam wujud, sudah terdapat zaman yang tidak ada ujungnya dan ini adalah suatu
perlawanan, karena kalau ada batas pada salah satu ujungnya, maka harus ada
batas pula pada ujungnya yang lain, begitupun sebaliknya.
Karena alasan-alasan terseebut di atas, maka tidak
mungkin untuk mengatakan baharunya alam
.
Jawaban Al-Ghazali
Dengan perkataan “Tuhan lebih dulu adanya daripada
alam dan zaman”, ialah bahwa Tuhan sudah ada sendirian, sedang alam belum lagi
ada, kemudian Tuhan ada bersama-sama alam. Dalam keadaan pertama, kita
membayangkan adanya Zat yang sendirian, yaitu Zat Tuhan, dan dalam keadaan
kedua, kita membayangkan dua Zat, yaitu Zat Tuhan dan zat alam. Kita tidak
perlu membayangkan ada zat (wujud) yang ketiga, yaitu zaman, apalagi kalau
diingat bahwa apa yang dimaksud dengan zaman ialah gerakan benda (alam), yang
berarti bahwa sebelum ada benda (alam), sudah barang tentu belum ada zaman.
Alasan Ketiga
Tiap-tiap yang baru, sebelum terjadinya, tidak lepas
dari 3 sifat :
- mungkin (bisa) wujud,
- tidak mungkin bisa wujud, dan
- wajib (mesti) wujudnya.
Sifat yang kedua tidak bisa dibenarkan, karena yang
tidak mungkin wujud tidak akan terdapat selamanya, sebab alam ini telah menjadi
wujud yang nyata. Sifat yang ketiga juga tidak dapat dibenarkan, karena yang
wajib wujudnya, tidak akan lenyap, sedang alam ini dan peristiwa-peristiwa yang
terjadi didalamnya asalnya ada, kemudian tidak ada, dan sebaliknya. Jadi kedua sifat
tersebut di atas tidak mungkin terdapat pada alam, dan oleh karena itu
satu-satunya sifat alam ialah bahwa alam itu mungkin wujudnya yang sudah
terdapat pada alam sebelum wujudnya.
Akan tetapi “mungkin wujud” adalah suatu sifat yang
tidak dapat berdiri sendiri, melainkan membutuhkan kepada perkara yang lain,
sebagai tempatnya. Yang lain ini, sebagai tempat sifat tersebut, tidak lain
adlah materi, sehingga kita dapat mengatakan “materi ini bisa (mungkin) wujud”
seperti kita mengatakan “benda ini bisa panas atau bisa dingin, bisa putih atau
bisa hitam, bisa bergerak atau bisa diam”. Artinya terjadinya sifat-sifat
tersebut dan terjadinya perubahan tersebut dapat terjadi (mungkin) pada benda.
Jawaban Al-Ghazali
Sifat “mungkin” yang disebutkan di atas, merupakan
pekerjaan fikiran (proposisi pikiran). Sesuatu yang dikirakan oleh akal dapat
wujud, dan perkiraan ini tidak mustahil, maka sesuatu tersebut disebut “perkara
yang mungkin”. Kalau perkiraan itu mustahil, maka perkara tersebut dinamai
“perkara yang mustahil”. Kalau tidak dapat dikirakan tidak adanya, maka disebut
“perkara yang wajib” (yang mesti selamanya ada). Ketiga-ketiga perkara tersebut
adalah pekerjaan (proposisi) pikiran, yang tidak memerlukan suatu wujud
tersendiri di luar pikiran, untuk dapat disifati dengan sifat-sifat tersebut.
Untuk menguatkan ini, Al-Ghazali mengemukakan 2 alasan :
1)
Kalau sifat-sifat mungkin memerlukan sesuatu wujud,
untuk menjadi tempanya (disifatinya). Makia sifat “tidak mungkin wujud” juga
memerlukan sesuatu perkara, untuk dapat dikatakan bahwa “perkara ini tidak
mungkin wujud”, sedang “perkara yang tidak mungkin wujud” tidak perlu ada
wujudnya atau bendanya, yang ditempati sifat tersebut.
2)
Akal fikiran memutuskan tentang warna hitam dan putih
sebelum wujudnya, bahwa kedua warna ini adalah mungkin (bisa terjadi). Kalau
sifat “mungkin” ini dipertalikan kepada benda yang ditempati kedua warna
tersebut, sehingga kita dapat mengatakan “benda ini dapat diputihkan atau
dihitamkan”, maka artinya putih atau hitam itu sendiri tidak mungkin dan tidak
mempunyai sifat mungkin, sebab yang mungkin adalah bendanya dan sifat mungkin
menjadi sifatnya.
Kalau demikian, maka kita akan bertanya : Bagaimana
kedudukan warna putih atau hitam itu sendiri?
Apakah “mungkin” ataukah “wajib” (mesti wujud),
ataukah “tidak mungkin”? Tentunya akan menjawab ,bahwa warna tersebut adalah
mungkin. Jadi akal fikiran, ketika mengatakan sifat “mungkin”nya sesuatu tidak
memerlukan suatu zat yang wujud yang bisa ditempati sifat tersebut.
Jawaban Al-Ghazali tersebut mengingatkan kita kepada
aliran “nominalisme” yang mengatakan bahwa soal universalitas (abstrak) hanya
terdapat didalam akal fikiran, sedang diluar akal fikiran tidak ada
kenyataannya, sedang pendirian filosuf-filosuf yang ditentang Al-Ghazali
mengingatkan kita kepada aliran “realisme”, yang mengatakan bahwa apa yang
terdapat dalam fikiran juga terdapat benar-benar di luar fikiran.
Labels:
Pendidikan,
Pengajaran
Thanks for reading PERSOALAN-PERSOALAN METAFISIKA YANG BERLAWANAN DENGAN ISLAM. Please share...!