Efektifitas Puasa dalam Meningkatkan Disiplin Beribadah
Disiplin diartikan sebagai “...submission to rules”,[1]
yakni ketundukan atau kepatuhan kepada
aturan yang berlaku. Senada dengan hal
itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia juga dinyatakan bahwa disiplin adalah
“ketaatan atau kepatuhan kepada peraturan”.[2]
Ia jelas merupakan sebuah perilaku yang agung dan mulia.
Agama (Islam) mengajarkan umatnya untuik berperilaku disiplin, tetapi dalam
hal-hal yang jelas-jelas tidak bertentangan dengan aturan Tuhan.[3]
Ini berarti bahwa disiplin hanya berlaku
dalam koridor aturan Tuhan.
Ketika terma ‘disiplin’ dikaitkan dengan terma ‘ibadah’,
maka ia berarti sebuah sikap dan perilaku ketaatan dan kepatuhan kepada semua
aturan Tuhan, terutama yang berupa
perintah dan larangan-Nya. Inilah yang disebut, dalam Islam, sebagai sikap ‘taqwa’.
Dengan kata lain, taqwa berarti “melaksanakan tata aturan yang telah digariskan
oleh Allah swt, dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya”.[4]
Dengan demikian,
dalam taqwa sesungguhnya terkandung pengertian pengertian pengendalian manusia
akan dorongan emosinya dan penguasaan kecenderungan hawa nafsunya. Artinya, ia
memenuhi dorongan-dorongan itu dalam batas yang diperkenankan oleh ajaran
agama. Selain itu, ia juga mengandung perintah kepada manusia untuk berbuat
baik, seperti berlaku benar, adil, memegang amanah, memenuhi janji, dan
menghindari permusuhan dan kedzaliman. Ketaqwaan dalam pada ini akan menjadi
tenaga pengarah manusia pada tingkah laku yang baik dan terpuji serta menjadi
penangkal tingkah laku buruk, menyimpang, dan tercela. Untuk itu manusia
dituntut untuk bisa membina dirinya dan mengendalikan serta menahan hawa
nafsunya.
Itulah yang ingin dicapai oleh pelaksanaan puasa, yaitu
untuk agar orang yang mengerjakannya mencapai derajat ketaqwaan. Artinya, puasa
adalah untuk membuktikan ketaqwaan seseorang.
Dalam surat al-Baqarah: 183 Allah swt. berfirman.
يآ
أيها الذين أمنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون.
(البقرة : 183)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertaqwa”.[5]
Jika dikaji secara mendalam, sesungguhnya konsep taqwa
mempunyai dimensi vertikal (ritual) dan horisontal (sosial). Hal ini dapat
dicermati dari ciri-ciri taqwa sebagaimana yang tercantum dalam suerat
al-Baqarah: 177 sebagai berikut.
ليس البر ان تولوا وجوهكم قبل المشرق والمغرب ولكن البر من
امن بالله واليوم الاخر والملئكة و الكتب والنبين واتى المال على حبه ذوى القربى ى
واليتمى والمسكين وابن السبيل و السائلين زفى الرقاب واقام الصلوة واتى الزكوة
والموفون بعهدهم اذاعاهدو ا والصبرين فىالبأساء والضرآء وحين البأس اولئك الذين
صدقوا واولئك هم المتقون
Artinya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan
Barat itu suatu kebaktian, sesungguhnya
kebaktian itu ialah kebaktian orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang
dicintainyakepada kerabatanya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir
(orang-orang yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta;
dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan
orang-orang yang menepati janjinya, dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang
benar (iamnnya); dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”.[6]
Dalam dimensi vertikal, puasa dapat meningkatkan hubungan vertikal kepada
Allah swt. dan menanamkan penghambaan diri kepada Allah swt.[7]
Manusia adalah hamba Allah swt. ,
sedangkan hubungan manusia dengan Allah swt. adalah kehambaan. Konsekwensinya, manusia harus tunduk dan
patuh pada semua ketetapan Allah swt. Setiap penolakan dan peningkarannya
berarti peningkaran akan Ketuhanan Alah swt. Manusia tidak layak menolak atau
mempersoalkan ketentuan-Nya. Manusia yang baik adalah hamba yang patuh kepada
Tuhannya.
Dari dimensi sosial, dengan berpuasa, orang yang
berpenghasilan lebih dapat merasakan langsung penderitaan yang setiap hari
dialami oleh saudara-saudaranya yang miskin, sehingga dapat merangsang mereka
agar tetap memperhatikan kehidupan saudaranya yang lemah.[8]
Inilah, yang disebut Quraish Shihab sebagai, cita-cita sosial Islam.[9]
Hal demikian karena
manusia adalah makhluk sosial. Kebersamaan antara beberapa individu dalam suatu
wilayah membentuk masyarakat yang walaupun berbeda sifatnya dengan
individu-individu tersebut, namun ia tetap tidak bisa memisahkan diri darinya.
Betapa pun seseorang memiliki kepandaian, namun hasil-hasil meterial yang
diperolehnya adalah berkat bantuan pihak-pihak lain. Lebih dari itu, manusia
hanya mampu mengelola, tetapi Tuhanlah yang menciptakan dan memilikinya.
Sehingga wajar jika Allah memerintahkan untuk mengeluarkan sebagian kecil
dari harta yang diamanatkan kepada seseorang itu demi kepentingan orang lain.
Sikap taqwa lahir
dari adanya kesadaran moral transendental. Manusia yang bertaqwa adalah manusia
yang memiliki kepekaan moral yang
teramat tajam untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan suatu perbuatan. Dia memiliki mata bathin
yang menembus jauh untuk melihat yang baik itu baik dan yang buruk itu buruk.
Dengan demikian, tingkah lakunya sehari-hari selalu mencerminkan perilaku mulia
dan selalu menghindari hal-hal yang menjadikan Allah swt. murka dan marah.
Dengan demikian, taqwa berarti melindungi diri dari
akibat-akibat perbuatan sendiri yang buruk dan jahat. Taqwa pada tingkatantertinggi menunjukkan kepribadian manusia yang benar-benar utuh dan integral.
Ini merupakan semacam stabilitas yang terjadi setelah semua unsur positif
diserap masuk ke dalam diri manusia.
Manusia yang berhasil mencapai derajat taqwa dan kemudian
berusaha terus mempertahankannya dipandang sebagai manusia sukses dalam
melaksanakan agamanya. Ia laksana sebatang pohon yang baik, yang ditanam dan
dipelihara, dan berbuah sehingga memberi manfaat dan kenikmatan kepada manusia dan lingkungannya.
Karena itu itu Allah swt. Menempatkan
manusia taqwa sebagai manusia yang paling mulia di sisi dan dalam
pandangan-Nya. Menjadi muttaqien (orang-orang yang bertaqwa) merupakan
tujuan kaum muslim dalam hidupnya di dunia. Sekali lagi, manusia muttaqein
itulah yang merupakan lulusan dari madrasah puasa. Dan, mereka itulah
orang-orang yang mendapatkan kemenangan.
Dalam surat al-Naba’: 31 Allah swt. berfirman.
ان للمتقين مفازا
Artinya: “Sesungguhnya
orang-orang yang bertaqwa mendapat kemenangan”.
Labels:
Pendidikan,
Pengajaran
Thanks for reading Efektifitas Puasa dalam Meningkatkan Disiplin Beribadah. Please share...!