Informasi Lengkap tentang pendidikan dan Pengajaran serta cara belajar mengajar di sekolah

Asas-asas Masyarakat Madani


1.      Azas-azas Masyarakat Madani
            Wawasan kenegaraan dan kemasyarakatan madinah sangat tepat di jadikan sebagai teladan dan rujukan dalam mewujudkan masyarakat “ideal” madani. Hal ini berangkat dari beberapa azas yang tumbuh subur dalam masyarakat madani yang amat konteks dengan masyarakat modern.
            Dalam konteks masyarakat madani terdapat beberapa pembentukan untuk membangun masyarakat madani yang dicita-citakan.

a.       Pluralisme
Kemajemukan budaya dalam paradigma sirah Nabi Muhammad SAW. Telah membentuk suatu keharmonisan suatu masyarakat yang plural. Sebab, pluralisme ketika itu tidak hanya dipahami sebatas perbedaan budaya, agama, ras, etnis, dan lain-lainnya. Lebih dalam dari itu pluralisme benar-benar menjadi suatu yang bernilai positif, sehingga muncul kesadaran hidup dengan visi kebersamaan dalam kemajemukan untuk memperjuangkan dan mempertahankan kota Madinah dan Nabi Muhammad dari berbagai bentuk perlawanan kaum Kafir. Azas-azas pluralisme telah mengantarkan masyarakat Yatsrib kepada Madinah (peradaban).
Dalam tulisannya Nurkholis Madjid menyatakan “cita-cita politik kita” (1983) bahwa:
“………Rasulullah SAW. Tidak membentuk masyarakat eksklusif bagi kaum muslimin. Justru, yang ditangani pertama sebagai langkah politik ialah mengatur kerjasama yang baik antar berbagai golongan dikota itu dalam semangat kemajemukan, kehidupan antar golongan itu diatur atas dasar kepentingan bersama dan secara demokratis, sebagaimana Rasulullah SAW. Sendiri menjadi pemimpin tertinggi adalah proses yang demokratis, pluralisme madinah dibawah ini dipimpin Rasulullah SAW. dan berdasarkan konstitusinya itu berjalan secara baik dan lancar, dengan tiap-tiap kelompok mengambil bagian kegiatan sesuai dengan tugas dan kewajibannya masing-masing”.[1]

Pluralisme adalah wujud dari “ikatan keadaban” (band of civility), dalam arti masing-masing pribadi atau kelompok, dalam suatu lingkungan interaksi sosial yang lebih luas, memiliki kesedian memandang yang lain dengan penghargaan, betapapun perbedaan yang ada, tanpa saling memaksakan kehendak pendapat, atau pandangan sendiri. Sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an, Tuhan menciptakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan antara sesama manusia guna memelihara keutuhan bumi sebagai berikut:
ولولادفع ا لله النا س بعضهم ببعض لفسدت الأرض ولكن الله ذوفضل
على العلمين ............
Artinya: “Seandainya Allah menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia yang (dicurahkan) atas semesta alam” (Q.S. Al-Baqarah-251).[2]




b.      Toleransi
Bercermin dari kodrat manusia bahwa dasar manusia adalah fitrah, yakni umat yang selalu dalam kehidupan kesehariannya bersemangat mencari kebenaran yang lapang, toleran, tanpa kefanatikan, dan tidak membelenggu jiwa, sifat toleransi inilah yang ditanamkan sejak dahulu.
Jika ditelusuri pokok-pokok ajaran Islam mengenai hubungan antar manusia, walaupun berbeda keyakinan, maka di dalam Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang mengatur hubungan antar manusia. Islam menganjurkan umatnya bersikap luwes (fleksibility). Berdada lapang, sikap terbuka, toleransi, sehingga dijumpai kondisi sosiologis yang begitu kondusif.[3] Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an

إنماالمؤمنون إخوة فأصلحوابين أخويكم واتقواالله لعلكم ترحمون.......

Artinya: “sesungguhnya semua orang mu’min itu adalah bersaudara”,(Al-Hujarat-10).[4]

Azas-azas inilah yang ditanamkan di dunia Pesantren, di mana suasana kehidupan santri punya ikatan “ukhuwah Islamiyah” yang kokoh. Para santri selalu disadarkan bahwa “perbedaan” (ikhtilaf) antar setiap manusia atau kelompok; baik perbedaan yang bersifat “alamiyah thobi’iyah” seperti bentuk tubuh, warna kulit, asal daerah, dan sebagaimanya. Ataupun perbedaan yang bersifat “ikhtiyariyah” (yang bersumber dari hasil usaha manusia) seperti, tingkat kepandaian, pengalaman, keterampilan, dan sebagainya. Adalah sunnatullah yang lazim berlaku pada setiap makhluk-Nya. Karena itu, perbedaan-perbedaan tersebut tidak boleh menyebabkan timbulnya perpecahan, pertentangan atau perselisihan yang sama sekali tidak dikehendaki oleh Allah. Para santri dilatih untuk memiliki sikap “at-tasamuh wal-insyiroh” (toleransi dan lapang dada) dalam menyikapi perbedaan-perbedaan tersebut.[5] Begitu juga halnya dengan penghuni Pondok, antara kiyai dan santri, guru dengan santri, dan santri dengan santri. Terjalin hubungan kekeluargaan dan persahabatan yang tulus, tidak terpaut pada satu teman saja akan tetapi berteman sesama santri yang ada di lingkungan Pesantren.

Labels: Pendidikan, Pengajaran

Thanks for reading Asas-asas Masyarakat Madani. Please share...!

Back To Top