1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi
Belajar
Menurut Roestiyah NK dalam bukunya "Masalah-masalah Ilmu
Keguruan", faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa dibagi
menjadi dua yaitu:
a.
Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor
yang timbul dari dalam diri anak sendiri.[1]
Faktor internal ini meliputi dua aspek yaitu aspek fisiologis (yang bersifat
jasmaniah) dan aspek psikologis (yang bersifat rohaniah).
(a)
Aspek fisiologis
Kondisi
umum jasmani dan tonus (tegangan otot) yang menandai tingkat kebugaran
organ-organ tubuh dan sendi-sendinya, dapat mempengaruhi semangat dan
intensitas siswa dalam mengikuti pelajaran. Kondisi organ tubuh yang lemah,
apalagi jika disertai pusing-pusing kepala dapat menurunkan kualitas ranah
cipta (kognitif) sehingga meteri yang dipelajarinyapun kurang atau tidak
berbekas.
Kondisi
organ-organ khusus siswa, seperti tingkat kesehatan indera pendengar dan indera
penglihat, juga sangat mempengaruhi kemampuan siswa dalam menyerap informasi
dan pengetahuan, khususnya yang disajikan di kelas.
Untuk mengetahui
kemungkinan timbulnya masalah mata dan telinga di atas, guru seyogyanya
bekerjasama dengan pihak sekolah untuk memperoleh bantuan pemeriksaan rutin
(periodik) dari dinas-dinas kesehatan setempat. Kiat lain yang tak kalah
penting untuk mengatasi kekurangsempurnaan pendengaran dan penglihatan
siswa-siswa tertentu itu ialah dengan menempatkan mereka di deretan bangku
terdepan secara bijaksana. Artinya, kita tidak perlu menunjukkan sikap dan
alasan (apalagi di depan umum) bahwa mereka ditempatkan di depan kelas karena
mata atau telinga mereka kurang baik.
(b)
Aspek psikologis
Banyak
faktor yang termasuk aspek psikologis yang dapat mempengeruhi kuantitas dan
kualitas pembelajaran siswa diantaranya ialah:
1. Intelegensi
Siswa
Intelegensi
pada umumnya dapat diartikan sebagai kemampuan psikofisik untuk mereaksi
rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara yang tepat.[2]
Sedangkan
Bimo Walgito mendefinisikan intelegensi dengan daya menyesuaikan diri dengan
keadaan baru dengan mempergunakan alat-alat berfikir menurut tujuannya.[3]
Setiap individu
mempunyai intelegensi yang berbeda-beda, maka individu yang satu dengan
individu yang lain tidak sama kemampuannya dalam memecahkan suatu persoalan
yang dihadapi.
Ada dua pandangan mengenai
perbedaan intelegensi yaitu pandangan yang menekankan pada perbedaan kualitatif
dan pandangan yang menekankan pada perbedaan kuantitatif. Pandangan yang
pertama berpendapat bahwa perbedaan intelegensi satu dengan yang lainnya memang
secara kualitatif berbeda, sedangkan pandangan yang kedua berpendapat bahwa
perbedaan intelegensi satu dengan yang lainnya disebabkan semata-mata karena
perbedaan materi yang diterima atau proses belajarnya.[4]
Tingkat
kecerdasan atau intelegensi (IQ) siswa tak dapat diragukan lagi, sangat
menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa. Ini berarti, bahwa semakin
tinggi kemampuan intelegensi seorang siswa maka semakin besar peluangnya untuk
meraih sukses. Sebaliknya, semakin rendah kemampuan intelegensi siswa maka
semakin kecil peluangnya untuk memperoleh sukses.
Selanjutnya
diantara siswa yang mayoritas berintelegensi normal itu mungkin terdapat satu
atau dua orang yang tergolong gifted child atau talented child, yaitu anak yang
sangat cerdas dan anak yang sangat berbakat (IQ 140 ke atas). Di samping itu
mungkin ada pula siswa yang berkecerdasan di bawah batas rata-rata (IQ 70 ke
bawah).
Setiap
guru hendaknya menyadari bahwa keluarbiasaaan intelegensi siswa, baik yang
positif seperti superior maupun yang negatif seperti borderline, lazimnya
menimbulkan kesulitan belajar siswa yang bersangkutan. Di satu sisi, siswa yang
cerdas sekali akan merasa tidak mendapatkan perhatian yang memadai dari sekolah
karena pelajaran yang disajikan terlampau mudah baginya. Akibatnya, ia menjadi
bosan dan frustasi karena tuntutan kebutuhan keingintahuannya merasa dibendung
secara tidak adil. Di sisi lain, siswa bodoh sekali akan merasa sangat
kesulitan mengikuti sajian pelajaran karena terlalu sukar baginya. Karena siswa
itu sangat tertekan dan akhirnya merasa bosan dan frustasi.
Untuk menolong
siswa yang berbakat, sebaiknya kita menaikkan kelasnya setingkat lebih tinggi
dari kelasnya sekarang. Kelak apabila ternyata di kelas barunya dia masih
merasa terlalu mudah juga, siswa tersebut dapat dinaikkan setingkat lebih
tinggi lagi. Begitu seterusnya, hingga dia mendapatkan kelas yang tingkat
kesulitan mata pelajarannya sesuai dengan tingkat intelegensinya. Apabila cara
tersebut sulit ditempuh, alternatif lain dapat diambil, misalnya dengan cara
menyerahkan siswa tersebut kepada lembaga pendidikan khusus untuk para siswa
berbakat.
Sementara
itu, untuk menolong siswa yang berkecerdasan di bawah normal, tidak dapat dilakukan sebaliknya, yaitu dengan
menurunkannya ke kelas yang lebih rendah. Sebab, cara penurunan kelas seperti
ini dapat menimbulkan masalah baru yang bersifat psikososial yang tidak hanya
mengganggu dirinya saja, tetapi juga mengganggu "adik-adik" barunya.
Oleh
karena itu, tindakan yang dianggap lebih bijaksana adalah dengan cara
memindahkan siswa penyandang intelegensi rendah tersebut ke lembaga pendidikan
khusus untuk anak-anak penyandang "kemalangan" IQ.
2. Bakat
Pengertian
bakat menurut para ahli adalah:
1. Kemampuan
untuk belajar.[5]
2. Gejala
kondisi kemampuan seseorang yang relatif sifatnya, yang salah satu aspeknya
yang penting adalah kesiapannya untuk memperoleh kecakapan-kecakapannya yang
potensial sedangkan aspek lainnya adalah kesiapannya untuk mengembangkan minat
dengan menggunakan kecakapan tersebut.[6]
Bakat dapat
mempengaruhi tinggi rendahnya prestasi belajar siswa. Oleh karenanya adalah hal
yang tidak bijaksana apabila orang tua memaksakan kehendaknya untuk
menyekolahkan anaknya pada jurusan keahlian tertentu tanpa mengetahui terlebih
dahulu bakat yang dimiliki anaknya itu.
Pemaksaan
kehendak terhadap seorang siswa dan juga ketidaksadaran siswa terhadap bakatnya
sendiri sehingga ia memilih jurusan keahlian tertentu yang sebenarnya bukan
bakatnya akan berpengaruh buruk terhadap kinerja akademik atau prestasi belajarnya.
Adakalanya
seseorang mempunyai bakat yang terpendam. Untuk mengetahui bakat yang terpendam
ini dapat dilakukan bermacam-macam test antara lain: test ketajaman indera,
test kecepatan gerak, test kekuatan dan koordinasi, test temperamen dan
karakter, dan test penalaran dan kemampuan belajar.[7]
3. Minat
Siswa
Minat
dapat mempengaruhi kualitas pencapaian hasil belajar siswa dalam bidang-bidang
studi tertentu, misalnya: seseorang yang menaruh minat besar terhadap
matematika akan memusatkan perhatiannya lebih banyak daripada siswa lainnya.
Kemudian,
karena pemusatan perhatian yang intensif terhadap materi itulah yang
memungkinkan siswa tadi untuk belajar lebih giat, dan akhirnya mencapai
prestasi yang diinginkan.
4. Sikap
Siswa
L. Crow
dan A. Crow mengartikan sikap dengan ketepatan hati atau kecenderungan
(kesiapan, kehendak hati, tendensi) untuk bertindak terhadap obyek menurut
karakteristiknya sepanjang yang kita kenal.[8]
Sikap
siswa yang positif terutama kepada guru dan mata pelajarannya merupakan
pertanda awal yang baik bagi proses belajar siswa tersebut. Sebaliknya, sikap
negatif siswa terhadap guru dan mata pelajarannya, apalagi jika diiringi dengan
kebencian kepada guru tersebut, dapat menimbulkan kesulitan belajar siswa
tersebut.
Untuk
mengantisipasi kemungkinan munculnya sikap negatif seperti di atas, guru
dituntut tidak hanya menguasai bahan-bahan yang terdapat dalam bidang
studi-studinya tetapi juga harus mampu meyakinkan kepada para siswa akan manfaat
bidang studi itu bagi kehidupan mereka. Dengan meyakini manfaat bidang studi
tertentu, siswa akan merasa membutuhkannya dan dari perasaan butuh inilah
diharapkan muncul sikap positif terhadap bidang studi tersebut dan sekaligus
terhadap guru yang mengajarkannya.
5. Motivasi
Adapun mengenai motivasi telah
penulis jelaskan di atas.
b. Faktor
Eksternal
Faktor eksternal adalah
faktor yang datang dari luar diri anak didik.[9]
Faktor eksternal yang mempengaruhi
prestasi belajar siswa dikelompokkan menjadi 3 faktor yaitu: faktor keluarga,
faktor sekolah, dan faktor masyarakat,
1. Faktor
keluarga
Pengertian
keluarga menurut para ahli adalah:
a. Suatu
kesatuan sosial terkecil yang dipunyai oleh manusia sebagai makhluk socia.[10]
b. Unit
satuan masyarakat yang terkecil yang sekaligus merupakan kelompok terkecil
dalam masyarakat.[11]
Keluarga
akan memberikan pengaruh kepada siswa yang belajar berupa: cara orang tua
mendidik, relasi antar anggota keluarga, suasana rumah tangga, keadaan ekonomi
keluarga, pengertian orang tua dan latar belakang kebudayaan.
1. Cara
orang tua mendidik
Orang tua
merupakan sumber pembentukan kepribadian anak, karena anak mulai mengenal
pendidikan yang pertama kali adalah pendidikan keluarga oleh orang tuanya.
Dalam sebuah hadist diterangkan bahwa:
عَنْ
اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم
: مَا مِنْ مَوْ لُوْدٍ اِلآَ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ. فَاَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ
اَوْ يُنَصِّرَا نِهِ اَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيْمَةُ بَهِيْمَةً
جَمْعَاءَ
(رواه البخارى و مسلم)
Artinya: "Dari Abu
Hurairah r.a : Nabi SAW bersabda : tiada bayi yang dilahirkan melainkan lahir
di atas fitrah, maka ayah bundanya yang mendidiknya menjadi yahudi, nasrani
atau majusi sebagaimana lahirnya binatang yang lengkap sempurna".[12]
Cara
orang tua mendidik anaknya, misalnya mereka acuh tak acuh terhadap belajar
anaknya, tidak memperhatikan sama sekali akan kepentingan-kepentingan dan
keperluan-keperluan anaknya dalam belajar, tidak mengatur waktu belajarnya,
tidak memperhatikan apakah anak belajar atau tidak, tidak mau tahu bagaimanakah
kemajuan belajar anaknya, kesulitan-kesulitan yang dialami dalam belajar dan
lain sebagainya, dapat menyebabkan anak tidak atau kurang berhasil dalam
belajarnya. Mungkin anak sendiri pandai, tetapi karena cara belajarnya tidak
teratur, akhirnya kesukaran-kesukaran menumpuk sehingga mengalami kegagalan
dalam belajarnya dan akhirnya anak malas belajar. Hasil yang didapatkan,
nilai/hasil belajarnya tidak memuaskan bahkan mungkin gagal dalam studinya. Hal
ini dapat terjadi pada anak dari keluarga yang kedua orang tuanya terlalu sibuk
mengurusi pekerjaan atau kedua orang tua yang memang tidak mencintai anaknya.
Mendidik
anak dengan cara memanjakan adalah cara mendidik yang tidak baik. Orang tua
yang terlalu kasihan terhadap anaknya tak sampai hati untuk memaksa anaknya
belajar. Bahkan membiarkannya saja jika anaknya tidak belajar dengan alasan
segan, adalah tidak benar, karena jika hal ini dibiarkan berlarut-larut anak
menjadi nakal, berbuat seenaknya saja, pastilah belajarnya menjadi kacau.
Mendidik anak dengan cara memperlakukan terlalu keras, memaksa dan
mengejar-ngejar anaknya untuk belajar, adalah cara mendidik yang juga salah.
Dengan demikian anak tersebut diliputi ketakutan dan akhirnya benci terhadap
belajar, bahkan jika ketakutan itu semakin serius anak akan mengalami gangguan
kejiwaan akibat tekanan-tekanan tersebut. Orang tua yang demikian biasaanya
menginginkan anaknya mencapai prestasi yang sangat baik, atau mereka mengetahui
bahwa anaknya bodoh tetapi tidak tahu apa yang menyebabkan sehingga anak
dikejar-kejar untuk mengatasi/mengejar kekurangannya.
2. Relasi
antar anggota keluarga
Relasi
antar anggota keluarga yang terpenting adalah relasi orang tua dengan anaknya.
Selain itu relasi anak dengan saudaranya atau dengan anggota keluarga lainpun
turut mempengaruhi belajar anak. Wujud relasi ini misalnya apakah hubungan itu
penuh dengan kasih sayang dan pengertian, ataukah diliputi oleh kebencian,
sikap yang terlalu keras, ataukan sikap yang acuh tak acuh dan sebagainya.
Begitu
juga relasi anak dengan saudaranya atau dengan anggota keluarga yang lain tidak
baik, akan dapat menimbulkan problem yang sejenis.
Demi
kelancaran belajar serta keberhasilan anak, perlu diusahakan relasi yang baik
di dalam keluarga anak tersebut. Hubungan yang baik adalah hubungan yang penuh
pengertian dan kasih sayang, disertai dengan bimbingan dan bila perlu
hukuman-hukuman untuk menyukseskan belajar anak sendiri.
3. Suasana
rumah tangga
Suasana
rumah dimaksudkan sebagai situasi-situasi atau kejadian-kejadian yang sering
terjadi di dalam keluarga di mana anak berada dan belajar.[13]
Suasana
rumah juga merupakan faktor yang penting yang tidak termasuk faktor yang
disengaja. Suasana rumah yang gaduh/ramai dan semrawut tidak akan memberi
ketenangan kepada anak yang belajar. Suasana tersebut dapat terjadi pada
keluarga yang besar dan terlalu banyak penghuninya. Suasana rumah yang tegang,
ribut dan sering terjadi cekcok, pertengkaran antar anggota keluarga atau
dengan keluarga lainnya menyebabkan anak menjadi bosan di rumah, akibatnya
belajarnya menjadi kacau.
Rumah
yang sering dipakai untuk keperluan-keperluan, misalnya untuk resepsi,
pertemuan, pesta-pesta, acara keluarga dan lain-lain, dapat mengganggu belajar
anak. Rumah yang bising dengan suara radio, tape rekorder atau TV pada waktu
belajar, juga mengganggu belajar anak, terutama untuk berkonsentrasi.
Selanjutnya
agar anak dapat belajar dengan baik perlu diciptakan suasana rumah yang tenang
dan tenteram, karena selain anak kerasan/betah tinggal di rumah, anak juga
dapat belajar dengan baik.
4. Keadaan
ekonomi keluarga
Keadaan
ekonomi keluarga sangat erat hubungannya dengan belajar anak. Anak yang sedang
belajar selain harus terpenuhi kebutuhan pokoknya, misalnya: makan, pakaian,
perlindungan, kesehatan dan lain-lainnya, juga membutuhkan fasilitas belajar
seperti ruang belajar, meja, kursi, penerangan, alat tulis-menulis, buku-buku
dan lain sebagainya. Fasilitas belajar itu hanya dapat terpenuhi jika keluarga
mempunyai cukup uang.
Jika anak
hidup dalam keluarga yang miskin, kebutuhan pokok anak kurang terpenuhi,
akibatnya kesehatan anak terganggu. Akibat yang lain anak selalu dirundung
kesedihan sehingga anak merasa minder dengan teman lain, hal ini pasti akan
mengganggu belajar anak. Bahkan mungkin anak harus bekerja mencari nafkah untuk
membantu orang tuanya walaupun sebenarnya anak belum saatnya untuk bekerja, hal
yang seperti ini akan mengganggu belajar anak. Walaupun tidak dapat dipungkiri
tentang adanya kemungkinan anak yang serba kekurangan dan selalu menderita
akibat ekonomi keluarga yang lemah, justru keadaan yang begitu menjadi cambuk
baginya untuk belajar lebih giat dan akhirnya sukses besar. Hal ini terjadi
karena anak merasa bahwa nasibnya tidak akan berubah jika dia sendiri tidak
berusaha mengubah nasibnya sendiri. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam
Surat Ar-ra'du ayat 11:

Artinya : Bagi
manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan
di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah[767].
Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki
keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan
sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.[14]
Sebaliknya
keluarga yang kaya raya, orang tua sering mempunyai kecenderungan untuk
memanjakan anak. Anak hanya bersenang-senang dan berfoya-foya, akibatnya anak
kurang dapat memusatkan perhatiannya kepada belajar. Hal tersebut juga dapat
mengganggu belajar anak.
5. Pengertian
orang tua
Anak
belajar perlu dorongan dan pengertian orang tua. Bila anak sedang belajar
jangan diganggu dengan tugas-tugas di rumah. Ketika anak mengalami lemah
semangat, orang tua wajib memberi pengertian dan mendorongnya, membantu sedapat
mungkin kesulitan yang dialami anak di sekolah. Kalau perlu menghubungi guru
anaknya, untuk mengetahui perkembangannya.
6. Latar
belakang kebudayaan
Tingkat
pendidikan atau kebiasaaan di dalam keluarga mempengaruhi sikap anak dalam
belajar. Perlu kepada anak ditanamkan kebiasaaan-kebiasaaan yang baik, agar
mendorong semangat anak untuk belajar.
2. Faktor
sekolah
Faktor
sekolah yang mempengaruhi belajar ini mencakup metode mengajar, kurikulum,
relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat
pelajaran, waktu sekolah, standar pelajaran, keadaan gedung, metode belajar,
dan tugas rumah. Berikut ini akan
penulis bahas faktor-faktor tersebut satu persatu.
a. Metode Mengajar
Metode
adalah cara yang di dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai suatu tujuan.[15]
Sebagaimana
kita ketahui ada banyak sekali metode mengajar. Faktor-faktor penyebab adanya berbagai macam metode mengajar ini adalah:
(1)
Tujuan
yang berbeda dari masing-masing mata pelajaran sesuai dengan jenis, sifat
maupun isi mata pelajaran masing-masing.
(2)
Perbedaan
latar belakang individual anak, baik latar belakang kehidupan, tingkat usia
maupun tingkat kemampuan berfikirnya.
(3)
Perbedaan
situasi dan kondisi di mana pendidikan berlangsung.
(4) Perbedaan
pribadi dan kemampuan dari pendidik masing-masing.
(5) Karena
adanya sarana/fasilitas yang berbeda baik dari segi kualitas maupun dari segi
kuantitas.[16]
Metode mengajar seorang guru akan
mempengaruhi belajar siswa. Metode mengajar guru yang kurang baik akan
mempengaruhi belajar siswa menjadi tidak baik pula. Metode mengajar yang kurang
baik itu dapat terjadi karena guru kurang persiapan dan kurang menguasai bahan
pelajaran sehingga guru tersebut menerangkannya tidak jelas. Akibatnya siswa
malas untuk belajar.
Guru yang lama biasaa mengajar
dengan metode ceramah saja. Siswa menjadi bosan, mengantuk, pasif dan hanya
mencatat saja. Guru yang progresif berani mencoba metode-metode yang baru, yang
dapat membantu meningkatkan kegiatan belajar mengajar, dan meningkatkan
motivasi siswa untuk belajar. Agar siswa dapat belajar dengan baik, maka metode
mengajar harus diusahakan yang setepat, seefisien, dan seefektif mungkin.
b. Kurikulum
Kurikulum
dipandang sebagai sejumlah mata pelajaran yang tertentu yang harus ditempuh
atau sejumlah pengetahuan yang harus dikuasai untuk mencapai suatu tingkat atau
ijazah.[17]
Nana
Sudjana mendefinisikan kurikulum dengan semua kegiatan atau semua pengalaman
belajar yang diberikan kepada siswa di bawah tanggung jawab sekolah untuk
mencapai tujuan pendidikan.[18]
Kurikulum sangat mempengaruhi belajar
siswa. Kurikulum yang kurang baik berpengaruh tidak baik terhadap belajar.
Kurikulum yang tidak baik itu misalnya kurikulum yang terlalu padat, di atas
kemampuan siswa, tidak sesuai dengan bakat, minat dan perhatian siswa. Sistem
instruksional sekarang menghendaki proses belajar mengajar yang mementingkan
kebutuhan siswa. Guru perlu mendalami siswa dengan baik, harus mempunyai
perencanaan yang mendetail, agar dapat melayani siswa belajar secara
individual.
c. Relasi
Guru dengan Siswa
Proses belajar mengajar terjadi
antara guru dengan siswa. Proses tersebut juga dipengaruhi oleh relasi yang ada
dalam proses itu sendiri. Jadi cara belajar juga dipengaruhi oleh relasinya
dengan gurunya.
Di dalam relasi (guru dengan siswa)
yang baik, siswa akan menyukai mata pelajaran yang diberikannya sehingga siswa
berusaha mempelajari sebaik-baiknya. Hal tersebut juga terjadi sebaliknya, jika
siswa membenci gurunya. Ia segan mempelajari mata pelajaran yang diberikannya,
akibatnya pelajarannya tidak maju.
Guru yang kurang berinteraksi dengan
siswa secara akrab, menyebabkan proses belajar mengajar itu kurang lancar. Juga
siswa merasa jauh dari guru, maka segan untuk berpartisipasi secara aktif dalam
belajar.
d. Relasi
Siswa dengan Siswa
Guru yang
kurang mendekati siswa dan kurang bijaksana, tidak akan melihat bahwa di dalam
kelas ada grup yang saling bersaing secara tidak sehat. Jiwa kelas tidak
terbina, bahkan hubungan masing-masing individu tidak tampak.
Siswa
yang mempunyai sifat-sifat dan tingkah laku yang kurang menyenangkan teman
lain, mempunyai rasa rendah diri atau sedang mengalami tekanan-tekanan batin,
akan diasingkan dari kelompok. Akibatnya makin parah masalahnya dan akan
mengganggu belajarnya. Lebih-lebih lagi ia akan menjadi malas untuk masuk
sekolah dengan alasan-alasan yang tidak-tidak karena di sekolah mengalami
perlakuan yang kurang menyenangkan dari teman-temannya.
Menciptakan
relasi yang baik antar siswa adalah perlu, agar dapat memberikan pengaruh yang
positif terhadap belajar siswa.
e. Disiplin
Sekolah
Disiplin
sekolah berarti adanya kesediaan untuk mematuhi peraturan-peraturan dan
larangan-larangan.
Hal-hal
yang dapat dilakukan untuk menanamkan disiplin kepada anak antara lain adalah:
dengan pembiasaaan, dengan contoh atau tauladan dan dengan penyadaran.
Kedisiplinan
sekolah erat hubungannya dengan kerajinan siswa dalam sekolah dan juga dalam
belajar. Kedisiplinan sekolah mencakup kedisiplinan guru dalam mengajar dengan
melaksanakan tata tertib, kedisiplinan pegawai/karyawan dalam pekerjaan
administerasi dan kebersihan/keteraturan kelas, gedung sekolah, halaman dan
lain-lain. Kedisiplinan kepala sekolah dalam mengelola seluruh staf beserta
siswa-siswanya, dan kedisiplinan team BP dalam pelayanannya kepada siswa.
f. Alat
Pelajaran
Alat
pelajaran erat hubungannya dengan cara belajar siswa, karena alat pelajaran
yang dipakai oleh guru pada waktu mengajar dipakai oleh siswa untuk menerima
bahan yang diajarkan itu. Alat pelajaran yang lengkap dan tepat akan
memperlancar penerimaan bahan pelajaran yang diberikan kepada siswa. Jika siswa
mudah menerima pelajaran dan menguasainya, maka belajarnya akan menjadi lebih
giat dan lebih maju.
Kenyataan
saat ini dengan banyaknya jumlah siswa yang masuk sekolah, maka memerlukan alat-alat
yang membantu lancarnya belajar siswa dalam jumlah yang besar pula, seperti
buku-buku perpustakaan, laboratorium atau media-media lain. Kebanyakan sekolah
masih kurang memiliki media dalam jumlah maupun kualitasnya.
Mengusahakan
alat pelajaran yang baik dan lengkap adalah perlu agar guru dapat mengajar
dengan baik sehingga siswa dapat menerima pelajaran dengan baik pula.
g. Waktu
Sekolah
Waktu
sekolah adalah waktu terjadinya proses belajar mengajar di sekolah, waktu itu
dapat pagi hari, siang, sore/malam hari.[19]
Waktu
sekolah juga mempengaruhi belajar siswa. Akibat meledaknya jumlah anak yang
masuk sekolah, dan penambahan gedung sekolah belum seimbang dengan jumlah
siswa, banyak siswa yang terpaksa masuk sekolah disore hari, hal yang
sebenarnya kurang dapat dipertanggung jawabkan. Di mana siswa harus istirahat,
tetapi terpaksa masuk sekolah, sehingga mereka mendengarkan pelajaran sambil
mengantuk dan lain sebagainya. Sebaliknya bagi siswa yang belajar dipagi hari,
pikiran masih segar, jasmani dan rohani dalam keadaan yang baik. Jika siswa
bersekolah pada waktu kondisi badannya sudah lelah, misalnya pada siang hari,
akan mengalami kesulitan di dalam menerima pelajaran. Kesulitan itu disebabkan
karena siswa kurang berkonsentrasi dan berpikir pada kondisi badan yang sudah
lemah tadi. Jadi memilih waktu sekolah yang tepat akan memberi pengaruh positif
terhadap belajar.
h. Standar
Pelajaran
Guru
berpendirian untuk mempertahankan wibawanya, perlu memberi pelajaran di atas
standar akibatnya siswa merasa kurang mampu dan takut kepada guru.
Bila
banyak siswa yang tidak berhasil dalam mempelajari mata pelajarannya, guru
semacam itu merasa senang. Tetapi berdasarkan teori belajar, yang mengingat
perkembangan psikis dan kepribadian siswa yang berbeda-beda, hal tersebut tidak
boleh terjadi. Guru dalam menuntut penguasaan materi harus sesuai dengan
kemampuan masing-masing. Yang penting tujuan yang telah dirumuskan dapat
tercapai.
i.
Keadaan Gedung
Dengan
jumlah siswa yang luar biasaa banyaknya, keadaan gedung dewasa ini terpaksa
kurang, mereka duduk berjejal-jejal di dalam setiap kelas.
j.
Metode Belajar
Banyak
siswa melaksanakan cara belajar yang salah, dalam hal ini perlu pembinaan dari
guru. Dengan cara belajar yang tepat akan efektif pula hasil belajar siswa itu.
Juga dalam pembagian waktu untuk belajar. Kadang-kadang siswa belajar tidak
teratur, atau terus menerus, karena besok akan ujian. Dengan belajar demikian
siswa akan kurang beristirahat, bahkan mungkin jatuh sakit.
Ada rumus
yang menyatakan bahwa 5 X 2 lebih baik dari 2 X 5 artinya lima kali belajar
masing-masing dua topik lebih baik hasilnya daripada dua kali belajar
masing-masing lima topik.[20]
Adanya
keteraturan belajar adalah syarat utama belajar. Bukan lamanya belajar yang
diutamakan tetapi kebiasaaan teratur dan rutin melakukan belajar. Belajar
teratur selama dua jam sekalipun setiap harinya, jauh lebih penting dari
belajar 6 jam namun hanya dilakukan pada hari-hari tertentu saja. Demikian pula
bukan banyaknya materi yang dipelajari yang harus diutamakan, tapi seringnya
mempelajari bahan tersebut sekalipun bahan tersebut tidak banyak.
k. Tugas
Rumah
Waktu
belajar adalah di sekolah, waktu di rumah biarlah digunakan untuk kegiatan-kegiatan
lain. Maka diharapkan guru jangan memberi tugas yang harus dikerjakan di rumah,
sehingga anak tidak mempunyai waktu lagi untuk kegiatan lainnya.
3. Faktor Masyarakat
Abu Ahmadi mendefinisikan masyarakat
dengan suatu kelompok yang telah memiliki tatanan kehidupan, norma-norma, adat
istiadat yang sama-sama ditaati dalam lingkungannya.[21]
Sedangkan Wahyu memberikan batasan
masyarakat dengan setiap manusia yang telah hidup dan bekerja sama cukup lama
sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai
suatu kesatuan sosial dengan batas yang dirumuskan dengan jelas.[22]
Masyarakat merupakan faktor eksternal
yang juga berpengaruh terhadap belajar siswa. Yang termasuk dalam faktor
masyarakat ini antara lain adalah: kegiatan siswa dalam masyarakat, mass media,
teman bergaul dan bentuk kehidupan masyarakat.
a. Kegiatan
siswa dalam masyarakat
Kegiatan
siswa dalam masyarakat dapat menguntungkan terhadap perkembangan pribadinya.
Tetapi jika siswa ambil bagian dalam kegiatan masyarakat yang terlalu banyak,
misalnya berorganisasi, kegiatan-kegiatan sosial, keagamaan dan lain-lain,
belajarnya akan terganggu, lebih-lebih jika tidak bijaksana dalam mengatur
waktunya.
Perlulah
kiranya membatasi kegiatan siswa dalam masyarakat supaya jangan sampai
mengganggu belajarnya. Jika mungkin memilih kegiatan yang mendukung belajar.
Kegiatan ini misalnya kursus bahasa Inggris, PKK remaja, kelompok diskusi dan
lain sebagainya.
b. Mass
media
Yang
termasuk mass media adalah bioskop, radio, TV, surat kabar, majalah, buku-buku,
komik-komik dan lain-lain. Semuanya itu ada dan beredar dalam masyarakat.
Mass
media yang baik memberi pengaruh yang baik terhadap siswa dan belajarnya.
Sebaliknya mass media yang jelek juga memberi pengaruh yang jelek terhadap
siswa. Sebagai contoh, siswa yang suka nonton film atau membaca cerita-cerita
detektif, pergaulan bebas akan berkecenderungan untuk berbuat seperti tokoh
yang dikagumi dalam cerita itu, karena pengaruh dari jalan ceritanya. Jika
tidak ada kontrol dan pembinaan dari orang tua (bahkan pendidik), pastilah
semangat belajarnya menurun bahkan mundur sama sekali.
c. Teman
bergaul
Pengaruh-pengaruh
dari teman bergaul siswa lebih cepat masuk dalam jiwanya daripada yang kita
duga. Teman bergaul yang baik akan berpengaruh baik terhadap diri siswa, begitu
juga sebaliknya, teman bergaul yang jelek pasti berpengaruh jelek pula.
Teman
bergaul yang tidak baik misalnya yang suka bergadang, minum-minum dan lain
sebagainya.
Agar
siswa dapat belajar dengan baik, maka perlulah diusahakan agar siswa memiliki
teman bergaul yang baik-baik dan pembinaan pergaulan yang baik serta pengawasan
dari orang tua dan pendidik harus cukup bijaksana.
d. Bentuk
kehidupan masyarakat
Kehidupan
masyarakat di sekitar siswa juga berpengaruh terhadap belajar siswa. Masyarakat
yang terdiri dari orang-orang yang tidak terpelajar, penjudi, suka mencuri, dan
mempunyai kebiasaaan yang tidak baik akan berpengruh jelek terhadap anak
(siswa) yang berada di situ. Sebaliknya jika lingkungan anak adalah orang-orang
yang terpelajar baik-baik mereka mendidik dan menyekolahkan anak-anaknya, antusias
akan cita-cita yang luhur akan masa depannya, anak/siswa akan terpengaruh juga
ke hal-hal yang dilakukan oleh orang-orang di lingkungannya. Pengaruh itu dapat
mendorong semangat dan motivasi anak/siswa untuk belajar lebih giat lagi. Untuk
itu perlulah mengusahakan lingkungan yang baik agar dapat memberikan pengaruh
yang positif terhadap anak/siswa sehingga dapat belajar dengan sebaik-baiknya.
Masih
banyak lagi faktor-faktor lain yang dapat berpengaruh pada prestasi belajar
seseorang. Maka tugas orang tua, pendidik untuk memahami secara mendalam,
sehingga dikemudian hari dapat membina anak/siswanya secara individual dan
efektif.
Labels:
Pendidikan,
Pengajaran
Thanks for reading Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar. Please share...!