Informasi Lengkap tentang pendidikan dan Pengajaran serta cara belajar mengajar di sekolah

Sejarang Perempuan Lengkap dari masa ke Masa

SEJARAH PEREMPUAN.
a.       Perempuan di Zaman pra Islam.
Telah menjadi fakta dalam sebuah sejarah peradaban kuno yang masyhur bahwa kondisi wanita secara umum sebelum Islam adalah suram. Sejarah peradaban manusia memberi kesaksian bahwa wanita, yang melahirkan manusia sebagai ibu, dihina, diperlakukan dengan kasar dan diturunkan kepada posisi lebih sebagai seorang pembantu dibanding sebagai seorang wanita yang bermartabat. Wanita diperlakukan sebagai budak oleh suaminya, yang dapat memelihara atau menceraikannya menurut kehendak dan kesenangannya. Begitu pula seringkali hukum dan perundang-undangan mengenai perempuan sangat tidak adil. Kaum perempuan kehilangan haknya sebagai warga dan juga hak dasar mereka yaitu hak asasi manusia. Banyak orang tidak memiliki rasa prikemanusian terhadap perempuan, mereka dikucilkan serta mereka disusahkan karena alasan sebuah tradisi dan adat istiadat yang mereka anut. Perempuan kerapkali hanya terkekang dalam kehidupan sosisal dan kebebasan mengemukakan pendapat, dan mereka tidak lebih dari seorang budak, mudah, dan murah untuk diperjual belikan. Halaman yang seperti ini masih selalu dialami oleh kaum perempuan baik perempuan muda, para istri dan ibu-ibu. Para wanita tidak mempunyai kemerdekaan atau kekuasaan dalam berbagai persoalan yang berhubungan dengan kesejahteraan dan mereka dikeluarkannya dari peran aktif dalam persoalan-persoalan sosial dan politik di masyarakatnya. Mereka harus tunduk kepada ayah, suami, dan saudara atau laki-laki sebagai pelindung dari segala aspek kehidupan mereka. Dengan kata lain mereka dianggap sebagai binatang ternak untuk dimiliki, dibeli, dijual atau diwariskan.
Sebagai kondisi riil yang terjadi pada perempuan sebelum datangnya Islam, kelahiran seorang anak perempuan dianggapnya sebagai aib dan masalah yang memalukan bagi keluarganya. Oleh karena itu bangsa Arab pada saat itu secara luas melakukan pembunuhan terhadap bayi perempuan (menguburnya secara hidup-hidup) kebiasaan seperti ini adalah sebagai yang tindakan yang pantas. Halaman ini di jelaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 58-59 yang menggambarkan mentalitas kebodohan yang menggaris bawahi praktek sebagai berikut:
#sŒÎ)ur tÏe±ç0 Nèdßymr& 4Ós\RW{$$Î/ ¨@sß ¼çmßgô_ur #tŠuqó¡ãB uqèdur ×LìÏàx. ÇÎÑÈ   3uºuqtGtƒ z`ÏB ÏQöqs)ø9$# `ÏB Ïäþqß $tB uŽÅe³ç0 ÿ¾ÏmÎ/ 4 ¼çmä3Å¡ôJãƒr& 4n?tã Acqèd ôQr& ¼çmßtƒ Îû É>#uŽI9$# 3 Ÿwr& uä!$y $tB tbqßJä3øts ÇÎÒÈ  
Artinya: “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar tentang (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya , dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikannya kepadanya. Apakah ia akan memeliharanya dengan menaggung kehinaan ataukah akan menguburkanya kedalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya yang mereka tetapkan!”.
Salah satu alasan sosial dari sikap seperti itu adalah pada waktu itu masyarakat yang menjalani kehidupannya mengembara (nomaden), dengan tradisi dan adat-istiadat yang nomaden pula. Pada masa sebelum Islam perseteruan darah antar suku yang menuntut para anggota laki-lakinya mempertahankan sukunya. Karena itu laki-laki sangat dibutuhkan dibanding perempuan. Lagi pula dalam konflik suku musuh selalu bertujuan menangkap wanita dan mengambilnya sebagai tawanan agar mereka dapat mengumpulkan tebusan yang berat. Apabila gagal melakukan halaman itu mereka akan memeliharanya sebagai budak. Dalam halaman seperti itu wanita dianggap sebuah pertanggungan jawab terhadap sukunya sendiri dengan begitu meraka membayar tebusan, mereka akan kehilangan uang, jika tidak maka kesucian wanitanya juga kehormatannya dipertaruhkan. Bangsa Arab tidak menyambut kelahiran bayi perempuan, dan halaman demikian karena sifat masyarakatnya. Peperangan dan infasi tidak pernah berhenti dan permusuhan tidak pernah berakhir. Semua ini tergantung pada laki-laki, sedangkan perempuan tidak mampu untuk melakukan apapun dari tugas-tugas ini, lagipula ia merupakan barang rampasan yang diinginkan untuk melayani (musuh) di mata musuhnya, atau ia sebagai hiburan. Untuk alasan ini bangsa Arab meyakini bahwa anak gadisnya sendiri merupakan beban berat baginya dan cara termudah untuk melepaskannya adalah dengan membunuhnya dengan segera setelah mereka lahir.
Kasus-kasus pembunuhan dan kekerasan terhadap kaum perempuan yang sering terjadi di kawasan padang tandus ini, menurut Reuben levy  bukan berarti anak perempuan tidak dihargai, tetapi karena dikaitkan dengan tiga alasan pokok yaitu:
Pertama, kekhawatiran akan kemiskinan dan dalam halaman ini anak perempuan menjadi alternatif pertama untuk dikorbankan mengingat posisinya dalam kabilah, ia tidak dianggap makhluk produktif sebagai halamannya laki-laki. Kedua, sebagai persembahan kepada dan atas nama Tuhan, sebagai mana Nabi Ibeahim mengorbankan anaknya Isma’il. Ketiga, untuk mempertahankan status sosial dan mencegah terjadinya aib dalam keluarganya, maka untuk mengorbankan atau membunuh anak dipilih anak perempuan karena anak perempuan lebih berpotensi untuk mendatangkan aib dalam keluarga.
           
Pemahaman terhadap kondisi dan nilai-nilai masyarakat pra-Islam dikawasan ini menarik untuk diperhatikan. Warisan nilai budaya lama telah banyak memberikan pengaruh psikologis terhadap pemahaman nilai-nilai baru. Struktur keluarga dan kekerabatan dalam dunia Arab menurut Mansour Fagih banyak dipengaruhi oleh warisan budaya klasik pra-Islam, sementara sejarah klasik bangsa ini dikacaukan oleh berbagai mitos dan legenda. Langgengnya budaya patriarki dan tradisi poligami. Adalah dua diantara banyak warisan budaya yang berpengaruh luas di kawasan ini. Mempertahankan faktor budaya dan sejarah klasik bangsa Arab dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an tidaklah lebih baik daripada melakukan pemahaman ulang berdasarkan perkembangan budaya masyarakat modern.

b.      Perempuan Saat Datangnya Islam.
Tidak seorangpun yang menolak bahwa agama-agama dihadirkan Tuhan di tengah-tengah manusia dalam rangka menegakkan kemaslahatan, kasih sayang, dan keadilan menyeluruh. Halaman ini dinyatakan dengan jelas dalam Al-Qur’an “Wa ma arsalnaaka illa rahmatan lil al’alamina”.
Dengan datangnya Islam, posisi perempuan secara radikal terdefinisikan kembali. Pertama ia melarang praktek penguburan bayi wanita dan memperbaiki hak-hak kelahiran wanita. Karena itu, Islam mengangkat mereka ke status yang layak sebagai manusia yang bermartabat sebagaimana laki-laki untuk selanjutnya laki-laki dan perempuan dipandang sejajar dari segi kemanusiaannya. Agama Islam tidak menghinakan kaum perempuan, sebagaimana pada pra-Islam. Tetapi agama Islam menghormati kaum perempuan dan mengangkat kepada derajat yang tinggi atas dasar ketaqwaannya kepada Allah SWT.[6]
Al-Qur’an telah memberikan banyak hak terhadap perempuan dalam masalah perkawinan, pendidikan, perceraian, kekayaan, dan warisan. Masa Nabi merupakan masa yang ideal bagi kehidupan perempuan, mereka dapat berpartisipasi secara bebas dalam kehidupan publik tanpa dibedakan kaum laki-laki. Sebagai sebuah contoh Nusaibah binti Ka’b Al-Maziniyah ra. di jalan Allah, membela negara Islam yang baru tegak, melibas berbagai rintangan yang menghalangi laju perkembangan Islam untuk menembus hati orang-orang Arab dan para pemimpin mereka-Quraisy-lalu berkonsentrasi mentransfer revolusi baru ke seluruh jazirah Arab kemudian seluruh penjuru dunia.[7] Dan masih banyak lagi peranan perempuan pada saat datangnya Islam seperti yang diperankan oleh Siti Aisyah melawan kaum kafir Quraisy di perang jamal.
Secara norrnatif Al-Qur’an banyak mengungkapkan perbedaan mendasar antara laki-laki dan perempuan, tetapi dalam konteks ini yang perlu kita kaji, apakah ungkapan itu mengacu pada perbedaan biologis, unsur subordinasi budaya atau kedua-duanya sekaligus. Banyak ditemukan sejumlah ayat mengungkapkan kekhususan perempuan yang tidak dialami laki-laki, seperti siklus menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui anak. Namun kekhususan ini sering disalah pahami dan dijadikan alasan untuk memojokkan perempuan pada sektor domestic an sich.[8] Perbedaan-perbedaan tersebut diasosiasikan dengan menyatakan laki-laki mempunyai satu tingkat kelebihan dengan merujuk pada ayat Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat: 34 yang berbunyi:
ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/
Yang menyatakan bahwa kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan.[9] Pada halaman tidak pernah ditemukan satu ayatpun yang menyatakan bahwa fungsi reproduksi sebuah sebab atau alasan mengapa perempuan harus menjadi subordinasi bagi laki-laki dan tidak boleh menjadi pemimpin. Para pemikir feminisme mengemukakan bahwa posisi perempuan yang sedemikian itu selain karena faktor-faktor ideologi dan budaya yang memihak pada laki-laki juga karena justifikasi oleh pemikiran elit agama yang terlalu sempit mamknai (menginterfretasikan)Al-Qur’an Surat An-Nisa’ 34.[10] seharusnya, menurut hemat peneliti perlu dipahami konteks ayat tersebut, apakah masuk dalam wilayah yang sosiologis. Dalam wilayah yang teosentris memang laki-laki berhak menjadi pemimpin atas perempuan. Seperti menjadi imam shalamanat, memimpin tahlilan, dan kegiatan ritualitas lainnya. Akan tetapi dalam wilayah sosiologis yang masih berkaitan dengan tuntutan budaya maka ayat tersebut perlu diinterpretasikan kembali pada yang lebih kontekstual dan egaliter.
            Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan persolan relasi laki-laki dan perempuan, prinsip dasar al-Qur’an sesungguhnya memperlihatkan pandangan yang egaliter. Sejumlah ayat Al-Qur’an yang mengungkapkan prinsip di atas:
Pertama, Al-Qur’an menegaskan kemanusiaan perempuan dan kesejajarannya dengan laki-laki, Surat Al-Hujurat ayat 13.
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Artinya: “Wahai manusia, kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling mengenal sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu disisi Allah yang paling bertaqwa”.[11]
Kedua, Islam menjamin kebahagiaan dunia dan akhirat bagi perempuan bila komitmen dengan iman dan menempuh jalan yang shalamaneh, sebagaimana jaminan terhadap laki-laki. Surat An-Nahl: 97
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahalamana yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.[12]
Ketiga, Proses fase pembentukan janin laki-laki dan perempuan tidak berbeda. Allah menegaskan dalam surat Al-Qiyamah: 36-39
أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى . أَلَمْ يَكُ نُطْفَةً مِنْ مَنِيٍّ يُمْنَى . ثُمَّ كَانَ عَلَقَةً فَخَلَقَ فَسَوَّى. فَجَعَلَ مِنْهُ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالْأُنْثَى .
Artinya: “Apakah manusia mengira, ia akan dibiarkan begitu saja tanpa pertanggung jawaban? Bukankah ia dahulu setetes mani itu menjadi segumpal darah lalu Allah menciptakan dan menyempurnakan. Lalu Allah menjadikan dari padanya sepasang laki-laki dan perempuan”.[13]
Nabi Muhammad juga menyatakan tentang kesetaraan ini dalam sabdanya:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ خَالِدٍ الْخَيَّاطُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ هُوَ الْعُمَرِيُّ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الرَّجُلِ يَجِدُ الْبَلَلَ وَلَا يَذْكُرُ احْتِلَامًا قَالَ يَغْتَسِلُ وَعَنِ الرَّجُلِ يَرَى أَنَّهُ قَدِ احْتَلَمَ وَلَمْ يَجِدْ بَلَلًا قَالَ لَا غُسْلَ عَلَيْهِ قَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ تَرَى ذَلِكَ غُسْلٌ قَالَ نَعَمْ إِنَّ النِّسَاءَ شَقَائِقُ الرِّجَالِ
(رواه الترمذي,  كتاب الطهارة في باب ماجاء فيمن يستيقظ فيرى بللا ولا يذكر إحتلاما)

Artinya : "Ahmad bin mani’ menceritakan kepada kami hammad bin khalamanid al-kayyad dari Abdullah bin Abdullah dia adalah al-Umari dari Ubaidillah bin Umar dari Qasyim bin Muhammad dari Aisyah  beliau berkata bahwa Rusullah ditanya tentang laki-laki yang basah sedang ia tidak merasa (ingat) bermimpi mengeluarkan mani beliau menjawab mandi junub (hadats besar), dan dari seorang laki-laki yang bermimpi mengeluarkan mani tetapi ia tidak basah, beliau menjawab ia tidak wajib adus (mandi besar) umi salamah berkata wahai Rosulallah apakah perempuan mengalami mimpi semacam itu wajib adus (mandi besar), beliau menjawab ya, karena sesungguhnya perempuan adalah saudara bagi laki-laki”.[14]
Turunnya Al-Qur’an dan lahirnya pernyataan Nabi Saw di atas dapat dipandang sebagai langkah yang sangat spektakuler dan revolusioner. Ia bukan saja mengubah tatanan masyarakat Arab pada waktu itu, tetapi sekaligus mendekonsetruksi pilar-pilar peradaban, kebudayaan, dan tradisi yang diskriminatif dan misigonis yang telah sekian lama dipraktekkan oleh masyarakat sebelumnya. Islam secara bertahap mengembalikan lagi otonomi perempuan sebagai manusia terbuka.
Sebagaimana yang telah diilustrasikan di atas, sejarah perempuan di Indonesia sebagian besar menganut budaya patriarki, dimana kekuasaan seorang ayah (laki-laki) sangat dominan, sehingga peran perempuan disini tidak terlalu masuk dalam perhitungan yang mengakibatkan ruang gerak perempuan sangat terbatas oleh sebuah tatanan budaya yang timpang erat terjadinya sebuah ketidakadilan gender (gender inquality). Halaman ini ditandai dengan terjadinya legitimasi terhadap suatu tafsiran sepihak dan dikonstruksi melalui budaya, yang menimbulkan ketidakadilan gender dalam bentuk:
1.      Marjinalisasi, baik di bidang ekonomi ataupun pendidikan, sehingga mengakibatkan kemiskinan dan pembodohan terhadap kaum perempuan.
2.      Subordinasi, sebuah anggapan bahwa perempuan itu irrasional dan emosional, sehingga sedikit sekali peluang bagi perempuan, untuk menjadi seorang pemimpin.
3.      Stereotipe, pelabelan negatif yang ditujukan pada kaum perempuan, sehingga mengakibatkan ketidakadilan.
4.      Violence (kekerasan), merupakan serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang, seperti pemerkosaan perempuan, termasuk pemerkosaan dalam perkawinan.
5.      Beban Kerja, adanya sebuah anggapan bahwa seorang perempuan memiliki sifat memelihara, rajin, sehingga tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, yang berakibat bahwa semua pekerjaan domestic rumah tangga adalah tanggung jawab perempuan.[15]
Dengan pelabelan tersebut, kaum perempuan secara kultural telah terdiskriditkan pada wilayah-wilayah domestik, sehingga pada era transformasi seperti ini banyak tuntutan dari kaum feminis yang menggugat atas tejadinya ketimpangan yang melahirkan ketidakadilan.


Labels: Pendidikan, Pengajaran

Thanks for reading Sejarang Perempuan Lengkap dari masa ke Masa. Please share...!

Back To Top