Sejarah Pendidikan Perempuan Paling Lengkap
Keberadaan pendidikan bersama hadirnya manusia di muka
bumi. Keduanya tidak dapat dilepaskan satu dengan yang lain, melainkan saling
melengkapi. Pendidikan merupakan proses humanisasi atau pemanusiaan manusia.
Suatu pandangan mengimplementasikan proses kependidikan dengan berorentasi
kepada pengembangan aspek-aspek kemanusiaan manusia, baik secara fisik, biologis
maupun ruhaniah-psikologis. Proses pendewasaan dan penyadaran dalam konteks
pendidikan ini mengandung makna yang mendasar, karena bersentuhan dengan aspek
paling dalam dari kehidupan manusia, yaitu kejiwaan dan keruhanian, sebagai dua
elemen yang berpotensi positif bagi pembangunan kehidupan yang berkebudayaan
dan berkeadaban. Sebuah pendidikan tidak dikatakan berfungsi secara maksimal,
jika manusia sebagai pelaku tidak ada di dalamnya. Artinya, manusia tidak bisa
hidup dan berkembang secara sempurna tanpa adanya pendidikan. Halaman itu, Ki
Hajar Dewantara yang mempunyai gagasan yang cerdas pada zamannya, tetapi
juga tetap aktual di zaman sekarang. Menekankan praktik pendidikan yang
mengusung kompetensi atau kodrat alam anak didik, bukan dengan “perintah
paksaan” tetapi dengan tuntunan, sehingga menggugah perkembangan kehidupan anak
didik baik lahir batin, cara mendidik seperti ini dikenal dengan pendekatan
among. Ada dua halaman yang mendasari adanya pendekatan tersebut. Pertama,
kemerdekaan sebagai syarat untuk menghidupkan dan mengarahkan kekuatan lahir
maupun batin, hingga dapat hidup merdeka. Kedua, kodrat alam sebagai
syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dan
sebaik-baiknya. Semua
itu agar masyarakat mencapai kebahagiaan dan keselamatan yang
setinggi-tingginya pendidikan bertujuan untuk mendapatkan kesempurnaan hidup
dan kebahagiaan lahir batin baik secara perorangan maupun sebagai anggota
masyarakat.
Oleh karena itu tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa
pendidikan adalah strategi budaya yang sangat kuat untuk mempertahankan
nilai-nilai budaya, nilai-nilai agama yang mereka yakini. Dalam konteks ini,
fungsi pendidikan berupaya menyesuaikan (mengahrmonisasikan) kebudayaan lama
dengan kebudayaan baru yang lebih profesional dan dinamis. Akan tetapi praktik
pendidikan pada kenyataannya telah melakukan dehumanisasi yang mengakibatkan
ketidakadilan gender (gender inquality).
Islam sangat menganjurkan pendidikan wanita baik dalam
bidang agama ataupun sosial. Pendidikan dan pelatihan budaya, mereka pandang
sebuah dimensi integral pembangunan kemasyarakatan. Tidak ada prioritas bagi
pria terhadap wanita dalam hubungannya dengan hak pendidikan. Keduanya secara
sama dianjurkan untuk memperoleh pendidikan. Sebagaimana ajaran Islam mencari
ilmu mulai dari “ayunan sampai liang lahat”. Sungguh semua ayat Al-Qur’an yang
berhubungan dengan pendidikan dan yang mengajarkan untuk memperoleh ilmu secara
sama ditujukan kepada pria dan wanita. Sesuai dengan semua yang mencakup konsep
tauhid-keesaan-ketika Islam meninggalkan wanita secara fisik dengan menghapus
pembunuhan bagi perempuan, tidak bisa diabaikan perlunya peninggian mental dan
spiritual mereka. Tidak satupun ayat Al-Qur’an maupun sabda Nabi yang melarang
atau menghalamanang-halamanangi wanita untuk mencari ilmu dan mendapatkan
pendidikan. Nabi adalah pelopor dalam halaman ini, Beliau menyatakan bahwa
mencari ilmu adalah wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan. Dengan
demikian Nabi membuka semua kesempatan ilmu secara sama laki-laki dan
perempuan.
Islam menganjurkan wanita untuk mengembangkan seluruh aspek
kepribadiannya, diyakini bahwa seorang wanita muslim yang berpendidikan
seharusnya tidak hanya memancarkan kualitas moralnya di lingkungan keluarganya,
tetapi ia juga harus mempunyai peran aktif dalam lapangan perkembangan sosial,
ekonomi dan politik yang luas. Al-qur’an secara khusus (9: 71-71) memerintahkan
pria dan wanita untuk menjalankan shalamanat, membayar zakat kepada yang miskin
dan memerintahkan kebaikan serta melarang kejahatan dalam segala bentuk:
sosial, ekonomi, dan politik. Halaman ini berarti keduanya mempunyai kewajiban
yang sama untuk melaksanakan tugas-tugas ini. untuk melakukan demikian ini,
mereka harus mempunyai jalan yang sama terhadap pendidikan. Karena bagaimanapun
seorang wanita dapat memegang kebijakan sosial dan ekonomi atau tidak dapat
bertanggung jawab, jika secara intelektual ia tidak dilengkapi untuk tugas ini.
halaman ini pada masa Rasulullah, yang dapat dijadikan barometer seperti perjuangan
wanita Aisyah yang sebagai guru, beliau mengajarkan ilmunya pada wanita dan
pria, al-Khansa (dalam kesusastraannya), Zainab (dengan ilmu kedokterannya),
Nusaibah (dalam pelayanan meliter). Dan msih banyak lagi yang diperankan oleh wanita-wanita Islam pada saat dalam
berbagai sektor kehidupan baik yang berkaitan dengan publik dan lain sebagainya
di masa Rasulullah.
Dari sejarah pendidikan perempuan di atas, sampai bagaimana
pandangan Islam pada kepentingannya sebuah pendidikan diwaktu turunnya
Al-Qur’an di jazirah Arab pada awal Islam. Bagaimana dengan Indonesia sendiri
mengenai pendidikan perempuan dan ruang gerak perempuan dalam kehidupannya?
Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, rakyat Indonesia
dicekam oleh rasa ketakutan dari masyarakatnya dalam melakukan berbagai
aktivitasnya, baik dalam berbagai halaman. Rakyat Indonesia untuk mengenyam
sebuah pendidikan tidak mendapatkan kesempatan dan rakyat hanya dijadikan budak
mereka dan para wanitanya dijadikan pemuas nafsu sang penjajah. Walaupun
sebagian dari rakyat Indonesia yang mengenyam pendidikan hanya mereka bagian
yang tergolong dari keluarga konglomerat dan anak-anak orang tua yang andil
dengan penjajah yang nantinya mereka dapat bekerjasama di lembaga bersama
penjajah.
Perjuangan
perempuan Indonesia sejak periode sebelum kemerdekaan sampai sekarang nampak
seperti pasang surut. Di zaman perjuangan kemerdekaan, perjuangan perempuan
Indonesia lebih nyata dan berani bersama kaum laki-laki dalam mendeklarasikan
Sumpah Pemuda (Sebutan Pemuda-Pemudi) dilanjutkan dengan Kongres Perempuan I
(22 Desember) dan seterusnya sehingga ditetapkan sebagai hari Ibu Nasional.
Membaca
sejarah gerakan perempuan Indonesia dan membuat kita berdecak-decak bagaimana
heroisme perempuan Indonesia pada masa kolonilaisme, menjelang proses
kemerdekaan dan pasca kemerdekaan. Peran-peran mereka sangat signifikan, karena
saja tidak hanya mempersoalkan masalah-masalah seputar nasib perempuan yang
disemukan oleh kebijakan kolonial maupun fiodelisme yang masih sangat kental.
Gerakan perempuan juga bicara soal politik-kekerasan, dan memberikan respon
terhadap situasi-situasi politik global. Dengan demikian isu yang saat ini
seakan-akan terpisah, terbelah, sehingga harus ekstra keras mencari titik
temunya, semangat anti kolonialisme dan imperialisme, memang sungguh tepat
menjadi musuh bersama (Common Enemy) dalam mengembangkan gerakan-gerakan
perempuan.
Penenggelaman
gerakan perempuan sampai dasa warsa, telah menjadi perempuan sesudahnya
seakan-akan tidak memiliki akar gerakan sama sekali. Sejarah perempuan
Indonesia, hanyalah sejarah perempuan yang dianggap memiliki nasionalisme yang
ikut berjuang dalam kemerdekaan. Seperti misalnya; RA. Kartini, Dewi Sartika,
Malahayati ataupun Tjoet Nyak Dien. Akan tetapi bagaimana dengan perempuan-perempuan yang berjuang dalam pergerakan
hak-hak perempuan yang sangat terabaikan, anak-anak sekolah tak akan bisa
membaca, apalagi memahaminya. Sejarah perempuan Indonesia biasanya paling sering
menyandarkan diri pada tokoh Kartini.
Suatu
halaman yang urgen perlu kita cermati, pergerakan yang mengenai hak perempuan
yang sangat terabaikan yaitu masalah pendidikan yang menjadi bekal untuk
keberlangsungan hidupnya. Sebelum kemerdekaan yang menjadi agenda kita sebagai
suri tauladan peran perempuan dalam pendidikan, kinerja Rahmah El Yunusiah di
Propensi Sumatra Barat. Beliau pelopor berdirinya TKR dan Madrasah Diniyah
Putri Padang Panjang Sumatra Barat pada tahun 1923 dengan 71 murid yang
kebanyakan ibu-ibu muda. Kemudian disusul pemberantasan buta huruf bagi ibu-ibu
yang lebih tua. Pada tahun 1926 Madrasah binasa karena diguncang gempa, tahun
1932 memperkenalkan koedukasi dengan menerima murid putra walaupun kurang
berhasil, sampai mendirikan Perguruan Tinggi yang disebut dengan Fakultas
Dirasah Islamiyah, dan bercita-cita mendirikan rumah sakait perempuan. Dari teladan gerakan perempuan sebelum kemerdekaan sebagai kontribusi dalam
menegakkan sebuah tatanan masyarakat yang harmonis dan berdaulat, dapat memberi
kita kontribusi pada langkah perjuangan bangsa Indonesia pada era selanjutnya.
b.
Pendidikan dan Gerakan Perempuan Indonesia Sesudah
Kemerdekaan
Memasuki babak baru gerakan perempuan Indonesia, ketika
pada tahun 1946, setelah kemerdekaan diperoleh bangsa ini. organisasi perempuan
mulai tumbuh, baik sebagai organisasi yang baru maupun kebangkitan kembali yang
telah ada. Gerakan perempuan pasca kemerdekaan (masa Soekarno) ini, di samping
tetap memperjuangkan agenda-agenda termasuk pasca pemberangusan di zaman
Jepang, mereka terus memperjuangkan kesamaan politik, hak memperoleh pendidikan
dan kesempatan kerja. Persoalan yang dihadapi adalah tindakan diskriminasi
antara laki-laki dan perempuan. Pada masa ini, meski demikian, hak politik yang
sama setidaknya secara legal telah dijamin dalam pasal 27 UUD 1945. lalu lahir
UU 80/1958. yang menjamin adanya prinsip pembayaran yang sama untuk pekerjaan
yang sama, perempuan dan laki-laki tidak dibedakan dalam sistem penggajian.
Halaman ini terbukti pada kongres perempuan III, setelah melakukan pembubaran
PPII (Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia), mulai isu dimunculkan tentang
hak perempuan. Perempuan terus memperjuangkan hak politik atau keterwakilan
perempuan, dengan memperjuangkan Maria Ulfa menjadi Volksraad, meskipun gagal.
Maria Ulfa kemudian terpilih menjadi Menteri Sosial pada Kabinet Syahrir II
(1946) dan SK Trimurti menjadi menteri perubahan pada Kabinet Amir Sjarifuddin
(1947-1948), pada pemilu 1955, gerakan perempuan Indonesia berhasil menempatkan
perempuan sebagai anggota parlemen.
Negara Indonesia setelah kemerdekaan, walaupun mengalami
keterbukaan, akan tetapi dampak dari penjajahan sangat berimbas pada sosial
politik pada selanjutnya. Perjuangan dan gagasan gerakan perempuan yang
sedemikian kuat dan berani pada akhirnya menjadai sepi. Kentalnya patriarkhi
yang melingkupi para penulis sejarah Indonesia, menjadikan gerak perempuan
dalam konteks pembentukan bangsa ke arah kemerdekaan tentu saja mencakup
gerakan politik yang telah mereka lakukan, tersisihkan atau bahkan terhapuskan
sama sekali. Kecuali catatan-catatan peran mereka dalam wilayah domistik,
seperti dapur umum untuk para gerilyawan. Disinilah lantas muncul arus besar
dalam pendidikan sejarah di Indonesia tentang peran laki-laki dalam perjuangan
nasional dan nasionalisme kemudian menjadi sungguh-sungguh semata-mata wacana
laki-laki.
Meneropong realitas sosial Indonesia setelah kemerdekaan
dan memfokuskan pandangan kita pada kehidupan perempuan, niscaya yang akan kita
temukan adalah sebuah keprihatinan, atas budaya yang dianut oleh warga negara
Indonesia yang memfokuskan terhadap kaum laki-laki sebagai tampuk kekuasaan
dalam berbagai sektor, baik dalam keluarga, masyrakat maupun dalam
pemerintahan. Kaum perempuan dianggap tidak mampu dan yang pantas bagi kaum
perempuan tinggal di rumah mengasuh anak dan melayani suami (pekerjaan
domistik).
Ada banyak data yang menggambarkan posisi lemah dan
marginal kaum perempuan pada wilayah pendidikan yang merupakan kebutuhan yang
urgen untuk diperoleh oleh manusia secara maksimal demi keberlangsungan
hidupnya. Halaman ini terjadi ketimpangan kesempatan kaum perempuan untuk
mendapatkan pendidikan. Dapat diketahui dari data 1997 yang dilakukan
penelitian oleh Puslitbang Kependudukan dan Ketenagakerjaan LIPI, bahwa dari
setiap 100 perempuan terdapat 41 orang yang tidak tamat SD, 33 tamat SD, 13
tamat SLTP, 11 tamat SMU/SMK, 2 tamat Perguruan Tinggi.Angka ini jelas menunjukkan betapa perempuan memang kurang memiliki kesempatan
untuk mengakses dan menikmati pendidikan secara layak. Dan tentu saja,
akibatnya adalah mereka terpaksa memiliki posisi sosial yang lemah. Sebab,
rendahnya pendidikan seringkali berbanding lurus dengan semakin banyaknya
keterbatasan.
Dari data yang dilakukan oleh Puslitbang Kependudukan dan
Ketatanegaraan LIPI, dapat diketahui bahwa kaum perempuan termarginalkan akibat
dari kemampuan pendidikan yang kurang dan anggapan kaum perempuan tidak mampu
untuk mengemban tanggung jawab dalam politik. Dalam wilayah politik, kita akan
menemukan data yang mengindikasikan betapa timpangnya posisi sosial perempuan.
Rasio perempuan dan laki-laki di lembaga tertinggi dan tinggi negara di era
Orde Baru misalnya, sangatlah tidak sebanding. Dari 8 anggota MPR, hanya
terdapat 1 perempuan. Dari 8 anggota DPR, juga hanya terdapat 1 perempuan. Di
DPA, dari 24 orang anggota hany terdapat 1 orang perempuan. Demikian pula di
lingkungan Mahkamah Agung dari 9 anggota hanya ada 1 orang perempuan.
Pada pasca kemerdekaan bangsa Indonesia bukan memberikan
ruang gerak yang lebih luas untuk kaum perempuan, walupun adalah sebagian dari
mereka mampu memerankan dirinya dalam publik akan tetapi bukan merupakan suatu
kesejahteraan yang mereka dapati, melainkan menambah beban yang bertambah.
Dengan bertambahnya beban kerja yang harus mereka kerjakan baik sosial dalam
publik dan keluarga, yang sementara anggapan pekerjaan domistik yang pantas
adalah kaum perempuan untuk mengerjakan, sementara suami hanya untuk menunggu
kaum ibu menyiapkan dari berbagai perlengkapan untuk keluarga. Mulai dari harus
bangun pagi menyiapkan makan keluarga dan memandikan anak-anaknya dan sementara
pagi-pagi mereka harus juga bersiap-siap untuk mempersiapkan diri masuk kantor.
Halaman ini yang masih banyak dialami oleh kaum perempuan di negara kita, dalam
artian bahwa keadaan perempuan pada pasca kemerdekaan mengarahkan kita pada
kesimpualan bahwa keadaan perempuan Indonesia memprihatinkan.
c.
Pendidikan dan Gerakan Perempuan Indonesia Era Masa
Kini
Budaya kita memang telah membatasi pendidikan antara laki-laki
dan perempuan, halaman inilah yang membentuk pola pikir perempuan Indonesia
menjadi terbelakang akibat paham “seklusi”. Dalam era reformasi kesempatan pendidikan perempuan sudah tidak dibatasi lagi,
artinya hak untuk belajar setinggi-tingginya bagi perempuan telah terbuka
selebar-lebarnya hanya saja karena pengaruh budaya masa lalu itulah, tidak
sedikit perempuan yang merasa ketinggalan dari laki-laki. Ia jarang menggunakan
kesempatan yang membentang di depan matanya, seolah ada penghalamanang yang
tersirat menghadang langkahnya. Padahalaman, tanpa mereka sadari peran
perempuan dalam kemajuan bangsa sangat signifikan, khususnya negara Indonesia
yang beberapa tahun ini tertimpa penyakit krisis multi dimensi. Bangsa
Indonesia membutuhkan perempuan yang mampu mengerti dan memahami kondisi bangsa
ini, mengetahui wawasan dan pengetahuan.
Beruntunglah kita yang hidup dizaman keterbukaan ini,
terbuka dalam semua bidang, bahkan tidak menutup kemungkinan bagi perempuan
untuk go internasional. Tidak pelak sekarang ini banyak bermunculan para tokoh
pemikir perempuan yang go internasional. Kesadaran untuk maju, berkembang dan
sejajar dengan laki-laki dalam bidang intelektual telah merebak dan meluas.
Proporsi penduduk perempuan Indonesia berdasarkan hasil
sensus 2000 menunjukkan penurunan dari tahun 1990 yang biasanya di atas 50%
menjadi 49,9% tetapi jumlah 102,8 juta jiwa lebih dibanding laki-laki 103,4.
Maka perbedaan tersebut tidak signifikan untuk dipersoalkan, yang pasti bahwa
apabila potensi itu dapat diberdayakan maka akan merupakan kekuatan yang sangat
bermakna untuk menunjang kemajuan pembanguan keluarga, masyarakat dan bangsa.
Dalam kenyataan, masih ditemukan ketimpangan dalam berbagai bidang sehingga
perempuan belum dapat menjadi mitra sejajar dan setara laki-laki. Beberapa
contoh, dapat diketahui; tingkat buta huruf perempuan usia 10 tahun keatas
berkisar 2-3 kali lipat dibanding laki-laki, dari setiap 25 pejabat eselon I
dan II di birokrasi pemerintah hanya 1 perempuan, mayoritas sekitar 54% guru SD
adalah perempuan, tetapi yang menjadi kepala sekolah SD kurang dari 15%, lebih
dari 57% pemilih dalam pemilu 1999 adalah perempuan, namun yang duduk di DPR
dan DPRD rata-rata kurang dari 9% bahkan di beberapa DPRD Kabupaten atau Kota
ada yang tidak memiliki wakil perempuan. Masih banyak contoh lain yang terjadi
dalam masyarakat kita.
Dalam era reformasi bagaimana pemberdayaan perempuan agar
mampu berperan aktif dalam pembangunan, yang aktualisasinya pada kebijakan
pemerinatah, politik dan perubahan menuju kesetaran dan keadilan gender agar
tidak terjadi sebuah ketimpangan. Konsekwensi logis untuk menghindari
ketimpangan ini adalah dengan memberikan pendidikan yang memadai kepada
perempuan.
Jika kita yakin bahwa pendidikan perempuan sangat
diperlukan, maka kita harus mengidentifikasikan bagaimana bentuk pendidikan
yang tepat bagi mereka. Bentuk pendidikan apakah yang diidentikkan dengan
pendidikan laki-laki ataukah perempuan memiliki pendidikan dalam bentuk khusus?
Mungkinkan mendidik perempuan meskipun ia berada dalam seklusi ataukah seklusi
tersebut dihapus terlebih dahulu? Apakah pendidikan perempuan terfokus pada
ilmu pengetahuan barat atau pada prinsip-prinsip tradisional peradaban Islam? Dalam menjaga kesetaraan dan keadilan gender, pemberdayaan perempuan yang harus
dibekali terhadap kaum perempuan agar tidak terjadi diskriminasi adalah
pendidikan yang meliputi; pendidikan fisik (perempuan seperti laki-laki)
membutuhkan kesehatan yang baik. Pendidikan moral halaman ini penting karena
alam memilih perempuan untuk menjadi pelindung standard moral manusia.
Pendidikan intelektual, yaitu studi tentang ilmu dan seni. Pendidikan untuk
mempersiapkan makan dan menjalankan rumah tangga. Melukis dan menggambar yang
sama pentingnya dengan pengetahuan ilmiah dan pendidikan musik. Inilah salah
bentuk pendidikan yang diharapkan dapat dimiliki perempuan yang sempurna dan
akan memberdayakan perempuan untuk memikul responsibilitas yang ia tanggung.
Pendidikan juga akan menyiapkannya untuk bisa menupang diri umat manusia, menunjukkan
kecakapan seorang isteri yang dapat diperoleh dengan cara yang menyenangkan dan
mengembirakan dan seorang ibu yang kompeten untuk mendidik anak-anaknya.
Aileen M. Stewart, seorang ahli dalam pemberdayaan
perempuan dan mansyarakat, berpendapat bahwa minimal ada kondisi yang
diperlukan oleh seorang perempuan; pemberian keahlian dan pembekalan
keterampilan atau kopetensi tertentu (expert power), pemberian peran dan
peluang (role power), pemberian fasilitas dan kemudahan untuk mewujudkan
kemampuan (resource power).
Pendapat Stewart di atas, sejalan dengan arah peneliti dari
PSPK (Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan ) yang mengusulkan untuk
pemberdayaan perempuan diperlukan; pertama, perubahan cara berpikir
lebih kritis tentang sebab akibat, kedua, pemberian peluang yang lebih luas bagi
partisipasi laki-laki dan perempuan, ketiga, penemuan konsep diri untuk
meningkatkan percaya diri perempuan, keempat, pemberian kesempatan lebih
banyak dalam proses pengambilan keputusan, kelima, perluas ruang gerak
dan kesempatan bagi partisipasi perempuan dan keenam¸ perubahan tata
nilai dan struktur kelembagaan dalam kehidupan keluarga dan sosial masyarakat.
Tingginya pendidikan perempuan di era reformasi ini yang
nantinya juga berimbas pada karier perempuan, yang berkorelasi dengan
penghasilan yang tidak kalah dengan laki-laki. Sehingga dapat meningkatkan dan
menyelamatkan buged keluarga, yang menjadikan makhluk lemah ini lebih kuat.
Perempuan tidak mau lagi dimaki-maki, digebuki, ditampari, apalagi disakiti hatinya
karena penyelewengan. Ia lebih suka memilih berpisah dengan suaminya daripada
menderita, sebab ia mampu membiayai dirinya sendiri dan anak-anaknya. Lela
Ch. Budiman berpendapat; kemajuan pendidikan perempuan telah membuka tabir
baru yang berimbas pada posisi-posisi jabatan strategis. Perempuan tidak hanya
menempati posisi sekretaris, tetapi juga menjadi bos, direktur, pimpinan
perusahaan, tidak hanya juru rawat tapi juga dokter bahkan spesialis.
Atas dasar kemajuan pendidikan dan pengetahuan perempuan, juga
menjadikan perempuan lebih berani dalam menuntut hak-haknya. Hak untuk
mendapatkan keamanan, hak untuk menentukan pilihan, hak untuk mendapatkan
kemerdekaan dan seterusnya. Dengan terpenuhinya hak sebagai warga negara dan
menjalankan kewajiban yang harus dilakukan, maka terciptalah suatu bangsa yang
berdaulat adil dan makmur (baldatun toyyibatun wa robbun wafur)
Labels:
Pendidikan,
Pengajaran
Thanks for reading Sejarah Pendidikan Perempuan Paling Lengkap. Please share...!