Pengertian Teori Psikoanalisa
Dalam
studi gender bukan hanya mitos dan norma kultural masyarakat patriarkhis yang
memiliki pandangan miring terhadap perempuan, sampai teori ilmiyah-pun ada yang
tidak berpihak pada perempuan, seperti teori Sigmund Frued, tokoh teori Psikoanalisa, mengatakan bahwa perbedaan
kelamin antara laki-laki dan perempuanlah yang menyebabkan memiliki
kecendrungan rendah diri.
Frued beranggapan bahwa sejak tahap phalamanlic yaitu anak usia antara 3-6
tahun perkmbangan kepribadian anak laki-laki da perempuan mulai berbeda.
Perbedaan inilah yan melahirkan perbedaan formasi sosial berdasarkan identitas
gender. Menurut teori ini masa phalamanlic
juga mrupakan masa ketika seorang anak menghbungkan identitas ayah dan
ibunya dengan alat kelamin yang dimiliki masing-masing. Rasa rendah diri anak
mulai muncul ketika diriya menemukan ssuatu yang kurang, yang oleh Frued
disebut kecemburuan alat kelamin. Jadi, dalam perspektif ini unsur biolgis
merupakan unsur yang paling dominan dalam membentuk perilaku seseorang
Dalam
dunia psikologi, pensubordinasian perempuan sudah terjadi sejak ilmu ini
berkembang. Subordinasi tersebut yang masih berjalan sampai saat ini masih
tertuang dalam ilmu analisa kejiwaan. Analisis ini banyak mendiskripsikan
tentang eksistensi perempuan yang diperkuat dengan struktur biologis. Para
psikolog mengatakan bahwa permpuan memiliki kecerdasan yang lebih rendah,
struktur otak yang kurang tersepesialisasi dan kepribadian yang lebih emosional
dibanding laki-laki. Dalam perspektif di atas, psikonalisis Frued semata-mata
hanya mendasarkan pada perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan dengan
meninggalkan seluruh pengaruh eksternal.Seperti aspek sosial, ekonomi, dan budaya. Berbeda dengan pemahaman aliran ilmu
pengetahuan empiris positivistik yang berangkat dari pemahaman obyektif,
universal dan bebas nilai. Menurut mereka pensubordinasian perempuan terjadi
akibat struktur dan sistem sosial yang tidak adil.dalam konteks ini, struktur
dan sistem sosial-lah yang mentukan streotipe dan wilayah kerja mereka
laki-laki diasumsikan sebagai sosok yang kuat, perkasa dan mampu bekerja di
sektor publik. Sedangkan perempuan sebaliknya, dan hanya ditempatkan pada
wilayah-wilayah domistik sebagai “ibu rumah tangga”.
Dari
sudut pandang di atas diakui atau tidak, laki-laki mendapat keuntungan dari
pola relasi gender. Walaupun kenyataannya masih tergantung pada setiap kondisi
masyarakat bagi mereka mempertahankan norma sosial atau bahkan norma agama yang
dipahami secara leterlek normatif (sempit) subordinasi dan ketidakadilan ini,
tidak terlalu bermasalah karena semua itu merupakan bagian dari “sunnatullah“. Akan tetapi dalam
masyarakat terbuka yang cenderung bebas nilai subordinasi dan ketidakadilan
sangat besar pengaruhnya terhadap eksistensi perempuan.