Informasi Lengkap tentang pendidikan dan Pengajaran serta cara belajar mengajar di sekolah

Hal-hal yang membatalkan puasa


Hal-hal yang membatalkan puasa
Hal-hal Berkaitan dengan yang membatalkan puasa, menurut baihaqi A. K
ada delapan hal yang dapat membatalkan puasa seseorang, sebagai berikut (A.K. Baihaqi, 1996) ;
  1. Makan dan minum
Mengenai batalnya puasa karena makan dan minum didasarkan pada firman Allah dalam Q.S. Al-Baqarah, 2 ; 187, :
              Artinya:   “...dan makanlah dan minumlah sehingga sampai kelihatan
                  benang yang putih dari benang yang hitam, yaitu fajar”.

  Akan tetapi, jika seseorang makan dan minum dalam keadaan lupa bahwa
Ia sedang berpuasa, maka puasanya tidak batal, sesuai hadits berikut ini:



Artinya :            “Barang siapa lupa bahwa ia sedang berpuasa, lalu ia makan atau
                           minum, hendaklah ia sempurnakan puasanya. Sesungguhnya ia
                           diberi minum dan makan oleh Allah”. (H.R. Al-Bukhari dan
                           Muslim).
  1. Memasukkan sesuatu kedalam lubang badan yang terbuka, seperti telinga dan hidung. Hal ini oleh sebagian ulama diqias kepada makan dan minum. Ulama lainnya mengatakannya tidak membatalkan puasa. Tetapi, jika dengan memasukkan, sesuatu kedalam lubang badan yang terbuka itu dimaksudkan untuk mengurangi lapar dan haus, dengan sendirinya menjadi batal. Oleh karena itu, jika memasukkan sesuatu itu tidak dengan maksud mengurangi lapar dan haus, begitu juga termasuk air kedalam telinga atau hdiugn diwaktu mandi, memasukkan obat melalui lubang badan selain mulut, bersuntik dan yang semacamnya tidak membatalkan puasa.
  2. Melakukan hubungan seksual (bersetubuh) di siang hari.
             Ketetapan hukum batal puasa karena melakukan hubungan seksualbersum-
         ber dari firman Allah SWT yang terlihat dalam Q.S. Al-Baqarah, 2 ; 187 ;
          …….ﻡﻜﺋﺎﺴﺌ ﯽﻟﺍ ﺚﻓﺭﻟﺍ ﻡﺎﻴﺻﻟﺍ ﺔﻟﻴﻟ ﻡﻜﻟ ﻝﺤﺍ….
           Artinya :  “Dibolehkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa berhubu –
                             ngan seksual dengan isteri kamu...”
               Ayat itu  dengan  jelas  memberi  petunjuk  bahwa  berhubungan  seksual
dengan isteri dibolehkan hanya pada malam hari bulan puasa. Siangnya hubungan seksual tersebut tidak dibolehkan. Oleh karena itu, jika ada orang yang sedang puasa melakukannya batallah puasanya. Jika orang yang sedang berpuasa melakukan hubungan seksual pada siang hari, tidak saja puasanya batal melainkan juga lebih dari itu, ia terkena kifarat (denda), yaitu (1) memerdekakan seorang hamba yang beriman, tahu jika ia tidak mempunyai hamba, (2) puasa dua bulan berturut-turut (jika terselang satu hari saja, diulangi lagi dari awal), atau jika tidak sanggup, (3) memberi makanan enam puluh orang miskin, masing-masing 1 (satu) liter.
Hadis berikut menjelaskan hal itu:



Artinya:“Seorang laki-laki berbuka puasa dengan bersetubuh dibulan rama –
            dhan, Rasulullah SAW lalu memerintahkannya dengan memerdekakan
            nya seorang hamba, atau puasa dua bulan berturut-turut, atau mem –
            ri makanan untuk enam puluh orang miskin”. (H.R. Muslim, Ahmad
            dan Ibnu Juraih dari Abu Hurairah).

    4.   Muntah dengan disengaja (diupayakan)
  Jika seseorang yang sedang berpuasa berusaha agar ia muntah, batallah   puasanya. Sebaliknya, jika ia muntah tanpa disengaja maka puasanya tidak batal. Ketetapan ini bersumber dari hadits berikut ini:


Artinya :   “Rasulullah SAW bersabda ; barang siapa muntah karena ter -
                  paksa tidaklah wajib mengqada puasanya (artinya ; puasanya
                  tidak batal) dan barang siapa mengupayakan muntah dengan
                  sengaja maka ia wajib mengqada puasanya (artinya ; puasanya
                  batal). (H.R. Abu Daud, Al-Tirmizi dan Ibnu Hibban dari Abu
                  Hurairah)
5. Keluar darah haidh atau nifas
             Seseorang perempuan yang kedatangan darah haidh atau darah nifas batal
         puasanya.  Hal ini jelas  karena salah  satu dari  syarat-syarat  sahnya  puasa
         adalah suci dari haidh dan nifas.  Sebuah hadits  menjelaskan  hal ini sebagai
         berikut:


          Artinya : “Kami diperintahkan Rasulullah SAW mengqadha puasa dan kami
                          tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat”. (H.R. Al-Bukhari
                          dari Aisyah ra).

Perintah mengqada puasa didalam hadits itu memberi pengertian bahwa
          puasa dalam keadaan haidh dan nifas tidak sah, dan oleh karenanya harus di-
          qadha (diganti) pada hari-hari lain di bulan lain.
      6. Gila
         Salah satu dari syarat-syarat sah puasa adalah “qil yaitu normal dan tidak
      sakit ingatan (gila). Jadi, jika seseorang sedang berpuasa lantas terkena sakit
     gila maka batallah puasanya. Hadits dibawah ini menjelaskan bahwa orang 
      yang gila bebas dari hukum ;
      Sebuah hadits menjelaskan:



                
Artinya : “Tiga golongan manusia bebas dari hukum ; (1) orang yang tidur
                 sampai ia bangun, (2) orang yang gila sampai ia sembuh, dan (3)
                 kanak-kanak sampai ia baligh”. (H.R. Abu Daud dan Al-Nasa’i).
     7. Keluar mani dengan onani atau merangkul perempuan.
             Keluar mani dengan cara onani (dengan tangan sendiri atau dengan tangan
orang lain) atau dengan cara merangkul perempuan atau cara lainnya  dihukum sama dengan berhubungan seksual, dan oleh karenanya puasa menjadi batal. Tetapi keluar mani karena mimpi tidaklah membatalkan puasa.
     8. Berniat berbuka.
Seseorang  yang  sedang berpuasa,  lantas  berniat  berbuka,  maka  batallah
         puasanya, meskipun ia tidak berbuka dengan misalnya, makan atau minum.
Hal itu disebabkan oleh karena ia sudah membatalkan niatnya dari semula niat berpuasa menjadi niat berbuka. Sedang niat adalah salah satu dari rukun-rukun puasa.

  1.  Kualitas Puasa
         Bagian terpenting dari syariat islam tentang puasa ini terletak pada pelaksa
naanya.  Pelaksanaan  yang baik  dapat  mengantarkan  seseorang kepada tujuan yang diharapkan, yaitu terbentuk pribadi yang muttaqin (bertaqwa kepada Allah ).
  
              Sebagaimana telah diterangkan dimuka, bahwa dalam menjalankan puasa tingkat kualitas puasa seseorang ditentukan oleh seberapa jauh dia melakukan hal-hal yang disunnahkan dan seberapa jauh dia menjauhi hal-hal yang dimekruhkan bahkan hal-hal yang membatalkan puasa.
             Dengan demikian, apabila puasa yang diamalkan itu memenuhi semua persyaratan yang sudah ditetapkan oleh syara’, maka besar sekali makna (hikmah) dari pahala yang akan diperolehnya. Apalagi puasa merupakan salah satu pilar dari rukun islam.
             Dalam hal ini, Abu Hamid Al-Ghozali mengklasifikasikan kualitas puasa itu menjadi tiga peringkat, yaitu puasa umum, puasa khusus, puasa khusus al-khusus (Prof. Dr. H. AK. Baihaqi, 1996).
             Yang pertama adalah, puasa sekedar menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual. Dan karena umumnya manusia yang berpuasa dalam tingkat ini, maka puasa mereka disebut puasa umum, artinya demikianlah kebanyakan puasa manusia.
             Yang kedua adalah, puasa yagn diamalkan disamping dengan isi umum tersebut diatas juga menyempurnakannya dengan menahan diri dari mengatakan, mendengar dan memandang atau melihat sesuatu yang kurang baik, kurang pantas, yang menyinggung / menyakiti orang lain atau yang sia-sia dan tak berguna. Dan karena puasa tingkat ini dapat diamalkan oleh mereka yang sudah biasa disebut  khusus maka puasa mereka disebut puasa khusus.
              Yang ketiga adalah, puasa yang diamalkan disamping dengan isi kategori puasa diatas disempurnakan pula dengan puasa hati yaitu menahan hati dari memikirkan,  mengkhayalkan  atau  membayangkan  hal-hal  duniawi  yang  rendah
selama berpuasa. Dan karenanya puasa semacam ini hanya bisa dilakukan oleh mereka sangat khusus, maka puasa mereka disebut puasa khusus al-khusus.
             Adapun puasa yang berada pada tingkatan kedua diatas dilakukan dengan memenuhi enam hal sebagai berikut (M. Al-Baqir, 1997) ;
             Pertama, dengan “enundukkan” pandangan mata serta membatasinya sedemikian sehingga tidak tertipu kepada segala hal yang tercela atau yang dapat menyibukkan hati dan membuatnya lalai akan ingatan kepada Allah SWT.
Sebagaimana yang tercermin dalam sabda Nabi SAW sebagai berikut :



Artinya:“Sekilas pandangan mata ada kalanya merupakan sebuah anak panah
              yang berbis diantara panah-panah iblis yang terkutuk, maka barang
              siapa menahan dirinya dari pandangan seperti itu, karena rasa takutnya
              kepada Allah SWT akan melimpahkan kepadanya keimanan yang terasa
              amat manis dalam hatinya”.
Jabir ra, juga meriwayatkan dari Anas ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda



Artinya::    Lima perkara yang membatalkan puasa seseorang ; ucapan bohong,
                  ghibah, fitnahan, sumpah palsu dan pandangan yang bernafsu (meman-
                  dang dengan syahwat)”
                    Kedua, menjaga lidah dari ucapan-ucapan yang sia-sia, dusta, gunjingan / fitnahan, caci maki, menyinggung perasaan orang lain, menimbulkan pertengkaran dan melakukan perdebatan berlarut-larut. Sebagai gantinya hendaknya ia memaksa lidahnya agar diam serta menyibukkannya dengan dzikir kepada Allah dan tilawah Al-Qur’an. Hal ini ditegaskan dalam sabda Rasulullah SAW:


  Artinya:  “Sesungguhnya puasa adalah tabir penghalang (dari perbuatan dosa),
                  maka apabila seseorang dari kamu sedang berpuasa, janganlah ia me-
                  ngucapkan  sesuatu  yang keji  dan  janganlah  ia berbuat jahil.  Dan
                  seandainya ada orang lain yang mengajaknya berkelahi atau menuju
                  kan cercaan kepadanya, hendaknya ia berkata ; “aku sedang berpuasa,
                  aku sedang berpuasa”. (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah)
             Ketiga, menahan pendengaran dari mendengar segala sesuatu yang dibenci oleh agama, sebab segala sesuatu yang haram diucapkan, haram pula didengarkan, karena itu pula Allah SWT menyamakan orang yang sengaja mendengarkan sesuatu yang diharamkan dan orang yang memakan harta haram, seperti dalam firman-Nya :
…..ﺖﺤﺴﻟﻟ ﻦﻮﻟﺎﻛﺍ ﺐﺬﻛﻟﻟ ﻦﻮﻋﺎﻤﺴ….
Artinya :  “....mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong
                 dan banyak makan yang haram”. ((Q.S. Al-Maidah ; 42 ).

Dan Rasulullah SAW juga menegaskan :

( ﻰﻨﺍﺭﺑﻃﻟﺍ ﻩﺍﻮﺭ ) ﻡﺛﻻﺍ ﻰﻓ ﻦﻴﻛﻴﺭﺷﻊﻤﺗﺴﻤﻟﺍﻭ ﺐﺎﺗﻐﻤﻟﺍ
Artinya :  “Orang yang mengunjing dan suka mendengarkan gunjingan adalah
                 serupa dalam dosa”.(H.R. Al-Thabrani).
             Keempat, mencegah semua anggota tubuh lainnya dari perbuatan haram maupun yang bersifat subhat. Hal ini dikhawatirkan pada masalh makanan yang diperuntukkan untuk berbuka. Sebab tidak ada artinya seseorang berpuasa menahan diri dari makanan yang halal sedangkan pada saat berbuka dari puasanya itu ia memakan makanan yang haram. Orang seperti itu dapat diibaratkan orang yang membangun istana sementara ia menghancurkan sebuah kota, hal ini senada dengan sabda Rasulullah SAW ;
ﺶﻄﻌﻟﺍﻮ ﻉﻮﺠﻟﺍ ﻻﺍ ﻪﻤﺎﻴﺻ ﻦﻤ ﻪﻟ ﺲﻴﻟ ﻡﺋﺎﺻ ﻦﻤ ﻡﻜ
       (ﻩﺭﻴﺭﻫﻰﺑﺍ ﻦﻋ ﻪﺠﺎﻤ ﻦﺑﺍﻮ ﺉﺎﺴﻨﻟﺍ ﻩﺍﻮﺭ )     
Artinya :  “Betapa banyak orang yang berpuasa sedangkan ia tidak mendapatkan
                 sesuatu dari puasanya itu kecuali hanya rasa lapar dan dahaga”.
                 (H.R. Al-Nasa’I dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
                          Kelima, mencukupkan diri ketika berbuka dengan makan halal sekedarnya saja, jangan terlalu kenyang sehingga perutnya penuh dengan makanan (walaupun dari yang halal) hendaknya diingat bahwa “tak ada wadah yang lebih dibenci oleh Allah dari pada perut yang penuh dengan makanan”.
             Keenam, hendaknya hatinya – setelah berbuka – senantiasa terpaut dan terombang-ambing antara harap dan cemas. Ssebab ia tidak tahu apakah puasanya diterima sehingga ia termasuk golongan “Muqarrabin”; atau ditolak, sehingga ia termasuk golongan “Mamqutin” (orang-orang yang dibenci oleh Allah). Perasaan seperti itulah yang sebenarnya menyertai dirinya pada setiap saat selesai melakukan ibadah puasa.
             Dari keenam hal diatas, Apabila kita analisis dengan pemahaman awal tujuan puasa yaitu bertindak dan bersikap sesuai dengan akhlaq Allah dan sifat-sifat-Nya maka ia akan menemukan rahasia puasa dalam pandangan akal sehatnya dan mata hatinya. Sehingga puasa yang dijalankannya mempunyai nilai ibadah baik segi lahir maupun batin, atau kulit dan isi. Kulitnyapun bertingkat-tingkat, maka terserah ia ingin memuaskan diri dengan kulitnya tanpa isi atau menggabungkan diri dengan kalangan orang yang terbuka mata hatinya, yakni mereka yang disebut “Ulul Albab”.
  1. Dampak Positif Ibadah Puasa
             Ibadah puasa, selama dilakukan dengan baik, dalam arti mengikuti secara konsisten beberapa petunjuk Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW memberikan dampak yang sangat positif, baik yang bersifat spiritual maupun yang bersifat material. Puasa dapat menafasi dan memberikan makna yang positif dalam kehidupan sehari-hari, yang tercermin, misalnya berupa kejujuran, berkata dan berbuat, ketulusan beramal, mengentalnya solidaritas sosial, giatnya dinamika dan etos kerja, maraknya disiplin, menguatnya kesabaran dan kian sehatnya fisik maupun psikis individu maupun masyarakat.
             Tidaklah mengherankan jika puasa berdampak sedemikian positif. Allah SWT memang mensyariatkan ibadah puasa dengan tujuan yang mudah dipahami, yaitu mengantarkan setiap orang untuk meraih posisi puncak disisi Allah sebagai seorang yang bertaqwa (Muttaqin). Sedangkan yang dimaksud dengan “Taqwa” disini adalah bentuk rasa tanggung jawab yang dilaksanakan dengan penuh rasa cinta dan menunjukkan amal prestatif dibawah semangat pengharapan ridha Allah SWT (Toto Tasmara, 2001).
             Puasa merupakan satu bentuk ketaatan kepada Allah SWT. Seorang mukmin, dengan puasanya akan diberikan pahala yang luas dan tidak terbatas, sebab dengan puasa dia akan memperoleh ridha Allah SWT dan berhak memasuki surga dari pintu khusus yang hanya disediakan untuk orang-orang yang berpuasa, namanya “Al-Rayyan”, sebagaimana yang tercermin dalam hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sahl bin Saed, (Drs. Muhammadiyah Ja’far, 1997). Puasa juga akan menjauhkan dirinya dari siksaan yang disebabkan oleh kemaksiatan yang dilakukannya. Puasa merupakan tebusan (Kafarat) bagi dosa dari satu masa ke masa berikutnya. Dengan ketaatan, urusan seorang mukmin akan berdiri tegak diatas kebenaran yang disyariatkan oleh Allah SWT, yakni menjalankan perintah Allah dan menjauhkan diri dari segala sesuatu yang dilarangnya. Sebagaimana yang tercermin dalam surat Al-Baqarah, 2 ; 183.
             Puasa merupakan madarasah moralitas yang besar dan dapat dijadikan sarana latihan untuk menempa berbagai macam sifat terpuji. Puasa adalah jihad melawan nafsu, menangkal godaan-godaan dan rayuan-rayuan syetan yang terkadang terlintas dalam fikiran, puasa bisa membiasakan seseorang bersikap sabar terhadap  hal-hal yang  diharamkan,  penderitaan  dan kesulitan  yang kadang
kala muncul dihadapannya.
             Puasa mendidik seseorang untuk bersikap jujur dan merasa diawasi oleh Allah SWT, baik dalam kesendirian maupun dalam keramaian, karena pada saat itu tidak ada seorangpun yang mengawasi orang yang berpuasa selain Allah SWT.
             Puasa dapat menguatkan kemauan, mempertajam kehendak, mendidik kesabaran, membantu kejernihan akal, menyelamatkan pikiran, dan mengilhami ide-ide cemerlang. Hal ini bisa terjadi ketika orang yang berpuasa melewati fase kelapangan hidup serta melupakan kesenangan dan kenikmatan hidup yang kadang-kadang terlintas secara tiba-tiba. Lukmanul Hakim berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, jika perut terisi penuh, pikiran akan tertidur, hikmah tidak akan muncul dan anggota tubuh akan malas melakukan ibadah”.
             Puasa mengajarkan disiplin dan ketepatan, karena puasa menuntut orang yang berpuasa untuk makan dan minum pada waktu yang telah ditentukan. Puasa dapat menimbulkan solidaritas dikalangan umat islam, baik yang berada di timur maupun di barat.
             Puasa secara praktis, memperbaru kehidupan manusia, yaitu dengan membuang makanan yang telah mengendap dan menggantinya dengan yang baru, mengistirahatkan perut dan alat pencernaan, memelihara tubuh serta menghilangkan bahu busuk yang disebabkan oleh makanan dan minuman. Sebagaimana sabda Nabi SAW sebagai berikut ;
( ﻡﻴﻌﻨ ﻮﺑﺍﻮ ﻦﺴﻟﺍ ﻦﺑﺍ ﻩﺍﻮﺭ ) ﺍﻮﺤﺻﺘ ﺍﻮﻤﻮﺻ
Artinya :  “Berpuasalah, niscaya kalian akan sehat”.


Seorang dokter  Arab, al-hadits Ibnu Al-Kaidah mengatakan ;
ﺀﺍﻮﺪ ﻝﻜ ﺲﺃﺭ ﻡﺎﻴﺻﻟﺍﻮ ﺍﻮﺤﺻﺘ ﺍﺀﺪﻟﺍ ﺕﻴﺑ ﺓﺪﻌﻤﻟﺍ
Artinya :  “Perut adalah sarang berbagai penyakit, sedangkan pencegahannya
                  adalah puasa sebagai obat yang paling mujarab”.
                  (Wahbah Al-Zuhayly, 1996)

             Bila kita renungkan dengan seksama, maka inti dari perintah menjalankan puasa adalah pengendalian diri (self Control). Pengendalian diri adalah salah satu cirri utama jiwa yang sehat. Dan manakala pengendalian pada diri seseorang terganggu, maka timbullah berbagai reaksi patologik (kelainan) baik dalam alam piker, alam perasaan dan prilaku yang bersangkutan. Rekasi patologik yang ditimbulkan tidak saja menimbulkan keluhan subyektif pada dirinya, tetapi juga dapat mengganggu lingkungan dan orang lain (Prof,.Dr. dr. H. Dadang Hawari, Psikiater, 1996). Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW sebagai berikut :

  Artinya  :    “Wahai para pemuda barang siapa diantara kalian telah memiliki
                   kemampuan material (ba’ah), maka hendaklah ia menikah, sebab hal
                   demikian bisa lebih menutup pnglihatan dan menjaga kemaluan. Dan
                   barang siapa belum memiliki ba’ah, maka dia harus berpuasa, karena
                   puasa dapat berfungsi sebagai penetrasi libido seksual (wija’)”.
                   (Wahbah Al-Zuhayly, 1996).
             Jadi dari berbagai statement tentang dampak positif ibadah puasa dari berbagai perspektif tersebut diatas, ibadah puasa tentunya tidaklah berlebih-lebihan atau mengada-ada. Dan puasa dibutuhkan oleh semua manusia, kaya atau miskin, pandai atau bodoh, untuk kepentingan pribadi atau masyarakat. Tidak heran jika puasa telah dikenal oleh semua umat-umat sebelum islam, sebagaimana yang diinformasikan oleh Al-Qur’an, surat Al-Baqarah, 2 ; 183 (M. Quraisy Shihab, 2000).
             Maka dengan berbekal keislaman dan keimanan yang ada dalam diri manusia, manusia harus tetap terus berusaha konsisten demi meraih tujuan ibadah puasa ini sebagai sarana untuk menggapai kebahagiaan di dunianya, lebih-lebih di akhirat kelak. Sehingga tidaklah mengherankan, jika orang sudah mampu berbuat demikian, ia memiliki kadar kedekatan yang sangat erat denga Allah SWT (Irfan Hielmya, 1999).

Labels: Pendidikan, Pengajaran

Thanks for reading Hal-hal yang membatalkan puasa. Please share...!

Back To Top