Informasi Lengkap tentang pendidikan dan Pengajaran serta cara belajar mengajar di sekolah

Pengertian Religiusitas dan Sikap Religius Manusia


Pengertian  Religiusitas
         Istilah Religiusitas bermakna sebagai ketaatan kepada agama. Istilah itu berasal dari kata sifat “religius”, yang berarti keagamaan ketaaatan, beribadah, beriman (Pius A. Partanto, M. Dahlan Al-Barry, 1994). Istilah religiusitas tidak identik dengan agama (Al-Din). Istilah Religius (religi) ini merupakan istilah baru yang menunjukkan system dengan ruang lingkup agama nasrani, dan diakui sebagai istilah lain pada umumnya, setelah agama nasrani memasuki kepulauan nusantara ini. Istilah religi ini berasal dari bahasa lain “Relegree” yang berarti berpegang kepada norma-norma. Perkataan “religi” ini erat hubungannya system dan ruang lingkup agama nasrani yang menunjukkan hubungan tetap antara manusia daengan Tuhan saja. Sedangkan agama (Al-Din) mempunyai makana yang jauh berbeda, sebab selain memiliki hubungan yang erat dengan Tuhan (hubungan vertical), juga mempunyai kaitan dan hubungan sesama manusia dan alam lingkungan hidupnya (hubungan horizontal). (Muhammad Daud Ali, 1998).

         Sedangkan yang dimaksud dengan istilah “Religiustas” dalam tema pembahasan dalam skripsi ini adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh Muhaimin, yang bermakna sebagai keberagamaan. Religiusitas (keberagaman) ini bermakna melaksanakan ajaran agama atau berislam secara menyeluruh, sebagaiman yang tercermin dalam Q.S. Al-Baqarah, 2 ; 208. Dengan demikian, baik dalam berpikir, bersikap maupun bertindak, diperintahkan untuk berislam, dimanapun dan dalam keadaan apapun, setiap muslim hendaklah berislam (Drs. Muhaimin, M.A, 2002).
         Endang Saifuddin Anshari dan Djamaluddin Ancok lebih lanjut memberikan penegasan bahwa dimensi religiusitas (keberagamaan) itu terbagi menjadi tiga bagian, yaitu dimensi aqidah (keyakinan), dimensi syari’ah (praktek agama) dan dimensi akhlaq (pengamalan).
         Dimensi aqidah (keyakinan) dalam islam menunjukkan pada seberapa tingkat keyakinan terhadap kebenaran ajaran agamanya, terutama terhadap ajaran-ajaran yang bersifat fundamental dan dokmatik. Di dalam keberi-islam-an, isi dimensi keimanan menyangkut keyakinan tentang Allah, para malaikat, nabi/rasul, surga dan neraka serta qadha dan qadar.
         Dimensi syari’ah (praktek agama) menunjukkan kepada seberapa tingkat kepatuhan muslim dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual sebagaimana yang diperintahkan dan dianjurkan oleh agamanya.
         Dalam keber-islaman, dimensi syari’ah menyangkut pelaksanaan shalat, puasa, zakat, haji, membaca Al-Qur’an, Do’a, zikir, ibadah qurban, I’tikaf di Mesjid pada bulan puasa dan sebagainya.
         Dimensi akhlaq (pengamalan) menunjukkan pada seberapa muslim berprilaku yang dimotifasi oleh ajaran-ajaran agamanya, yaitu bagaimana individu-individu berelasi dengan dunianya, terutama dengan manusia lain. Dalam keber-islaman, dimensi ini meliputi prilaku suka menolong, bekerja sama, berderma, menyejahterahkan dan menumbuh kembangkan orang lain, menegakkan kebenaran dan keadilan, berlaku jujur, memanfaatkan, menjaga lingkungan hidup, menjaga amanat, tidak mencuri, tidak korupsi, tidak menipu, tidak berjudi, tidak meminum minuman memabukkan, mematuhi norma-norma islam dalam prilaku seksual, berjuang untuk hidup sukses menurut ukuran islam dan sebagainya (Drs. Muhaimin, M.A, 2002).
         Ketiga dimensi diatas, dapat diwujudkan melalui berbagai kegiatan keagamaan sebagai wahana dalam upaya menciptakan dan meningkatkan tingkat religiusitas seseorang. Diantara ketiga dimensi tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan, sebab keber-islam-an (religiusitas) mempunyai tiga pilar yang harus ada dalam diri seorang muslim, yaitu ; pertama, iman sebagai penerimaan adanya eksistensi Allah ; kedua, iman sebagai penerimaan atas Hari Akhir (penerimaan Hari Akhir juga menyangkut penerimaan atas hari kebangkitan), artinya iman kepada Allah dan Hari Akhir merupakan syarat yang tidak dapat ditawar-tawar ; ketiga, Amal Shaleh.
         Jadi religiusitas tersebut memiliki dua sisi ; sisi teoritis, pada aspek keimanan sebagaimana yang ada dalam rukun iman (yang dijadikan sebagai aqidah), dan dari sisi logis – praktis pada amal shaleh dan ihsan, dalam hal ini pada aspek rukun islam dan akhlaq sebagai perwujudan iman tersebut. Sebab iman teoritis tanpa tindakan nyata sebagai ekspresi dan manifestasinya, tidak bermakna apa-apa. Begitu juga islam tanpa tindakan nyata sebagai ekspresi dan menifestasinya, tidak bermakana apa-apa pula. (Dr. Muhammad Syahrur, 2002).
         Hal ini muncul sebagai upaya pendobrakan terhadap suatu fenomena sosial agama yang kian terpuruk, yakni mestinya orang yang beragama itu adalah sekaligus orang yang religius juga. Namun banyak terjadi, orang penganut suatu agama yang gigih, tetapi dengan bermotifasi dagang atau peningkatan karir. Disamping itu, ada juga orang berpindah agama karena dirunrut oleh calon mertuanya, yang kebetulan dia tidak beragama sama dengan yang dipeluk calon suami atau isteri.
         Ada juga kejadian, menurut anggapan orang luar, seseorang sangat tekun dan taat melakukan ajaran agamanya secara lahiriyah, akan tetapi diluar penamatan orang ia adalah lintah darat, sedangkan di dalam rumah tangganya ia juga kejam dengan isterinya, secara diam-diam ia suka berjudi, atau main serong dan sebagainya. Orang ini beragama hanya sekedar ingin dihormati, dan tambah mendapat keuntungan-keuntungan material tertentu. Ia tidak memiliki religiusitas yang bagus, dengan kata lain ia bukanlah manusia yang religius.
         Dengan demikian, pada dasarnya religiusitas (keberagamaan) mengatasi atau lebih dalam dari agama yang tampak formal, resmi. Dengan termilikinya religiusitas oleh muslim ia dapat berdiri khidmat dan rukuk secara khusuk. Yang dicari dan diharapkan untuk anak-anak (muslim) adalah bagaimana mereka dapat tumbuh menjadi abdi-abdi Allah yang beragama baik, namun sekaligus orang yang mendala cita rasa religiusitasnya, dan yang menyinarkan damai murni karena fitarh religiusnya, meskipun barangkali dalam bidang keagamaanya kurang patuh, itu dibandingkan dengan orang yang hebat keagamaannya, tetapi ternyata kulit luarnya saja, sedangkan kehidupan sesungguhnya serba tipuan semu. (Drs. Muhaimin, MA, 2002).
2.  Sikap Religius Manusia
         Pada dasarnya, manusia itu dilahirkan dalam keadaan suci. Kesucian manusia itu biasanya dikenal dengan istilah “Fitrah”. Fitrah tersebut menjadikan diri manusia memiliki sifat dasar kesucian, yang kemudian harus dinyatakan dalam sikap-sikap yang suci pula kepada sesamanya. Sifat dasar kesucian itu biasanya dikenal dengan istilah “Hanifah”, karena manusia memiliki sifat dasar hanif, maka ia memiliki dorongan menuju arah kebaikan dan kebenaran atau kesucian. Pusat dorongan hanifiyah itu terdapat dalam dirinya yang paling mendalam dan paling murni, yang kemudian disebut dengan istilah Hati Nurani”artinya berseifat nur atau cahaya. Oleh sebab itu jika ada orang yang berbuat jahat atau menipu pada orang lain atau sesama saudaranya sendiri maka ia sering disebut dengan istilah “tidak punya hati nurani”. (Drs. Muhaimin, MA, 2002).
         Fitrah dan hanifiyah yang dimiliki manusia merupakan kelanjutan dari perjanjian antara manusia dengan tuhan, yaitu suatu perjanjian atau ikatan, janji antara mansuia ia lahir kedunia dengan Tuhan. Dalam perjanjian tersebut manusia telah menyatakan bahwa ia akan mengakui Tuhan (Allah) sebagai pelindung dan pemelihara (Rabb) satu-satunya bagi dirinya. Hal ini tercermin dalam dialog antara Tuhan dan roh manusia, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, surat al-A’raf ayat 172 ;

(  ١٧٢ : ﻒﺍﺭﻋ ﻻﺍ)ﺎﻧﺪﻬﺸ ﻰﻟﺑ ﺍﻮﻟﺎﻘ ﻡﻛﺑﺭﺑ ﺖﺴﻟﺍ
Artinya : “Bukanlah Aku ini Tuhanmu?, mereka menjawab ; “Betul (engkau Tuhan
                kami), kami menjadi saksi”. (al-A’raf ; 172)      
          Muhammad Abduh dalam tafsirnya Al-Manar menyebutkan bahwa ayat tersebut mengambil pengertian manusia itu telah diciptakan oleh Allah atas fitrah islam, serta didalam jiwa manuisa itu telah disiapkan Allah ghorizah iman. Sedangkan N. drijarkara SJ, dalam bukunya percikan filsafat menyebutkan bahwa suara Tuhan itu terekam dalam jiwa manusia berupa suara hati nurani manusia.
         Berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits, dalam diri manusia terdapat berbagai macam fitrah yang antara lain adalah fitah agama, fitrah suci, fitrah berakhlaq, fitrah kebenaran, dan fitrah kasih sayang. (Drs. Muhaimin, MA, 2002).
  1. Fitrah agama
             Dalam Al-Qur’an surat Al-A’raf ; 172 dinyatakan bahwa fitrah beragama sudah tertanam dalam jiwa manusia semenjak dari alam arwah terdahulu, yaitu suatu ruh manusia belum ditiupkan oleh Allah kedalam jasmaninya. Pada waktu itu Allah bertanya kepada ruh-ruh manusia; “bukankah aku ini Tuhanmu?” kemudian ruh manusia itu menjawab ; “benar, kami telah menyaksikan”.
             Dengan demikian jelaslah bahwa dalam diri manusia sudah ada fitrah untuk beragama. Fitrah agama yang ada dalam diri manusia itu ialah fitrah beragama islam. Hal ini didasarkan pada beberapa dalil sebagai berikut ;
a. Nabi  Muhammad SAW   menyatakan   bahwa   setiap  anak   dilahirkan  dalam
    keadaan  beragama  islam,  sebagaimana  sabda beliau ;   “Tidaklah  dilahirkan
    seorang anak, melainkan atas agama ini (islam) hingga menjelaskan akan dia
    lidahnya”. (H.R. Muslim)
             Dari hadits tersebut dapat diambil pengertian bahwa jika anak manusia ketika sudah lahir kedunia menjadi beragama lain, misalnya seperti yahudi, kristen, majuzi dan lainnya, maka hal itu disebabkan oleh orang tua atau lingkungannya. Sebagaimana sabda Nabi SAW ; “Tidaklah dilahirkan seorang anak melainkan atas fitarah, maka orang tuanyalah yang menjadikan beragama yahudi, atau nasrani atau majusi”. (H.R. Muslim).

b. agama yang diakui oleh Allah ialah agama islam, sebagaiman firman-Nya;
   “Sesungguhnya agama disisi Allah ialah agama Islam”.(Q.S. Al-Imron, 19).
             Ayat tersebut mengandung makna bahwa jika manusia mencari agama
     selain islam, maka Allah tidak akan menerimanya dan dia termasuk orang yang
     merugi di akhirat nanti. Hal ini disebutkan pula dalam firman Allah ;
     Q.S,. Al-Imron ayat 85.                                             
c. Semua Nabi / Rasul Allah adalah beragama Islam. Hal ini dapat dipahami dari
    ayat-ayat Al-Qur’an sebagai berikut ;
    1). Nabi Nuh a.s. menyatakan bahwa ia diperintahkan oleh Allah untuk beraga-
         ma islam, sebagaiman firman-Nya dalam surat Yunus ayat 72.
    2). Allah memberitahukan bahwa Nabi Ibrahim as, bukanlah seorang yahudi atau
         nasrani atau musyrik, tetapi dia adalah seorang yang beragama islam.
         Sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Imron ayat 67.
    3). Nabi Musa a.s. mengajak kaumnya untuk beragama islam, sebagaimana
         firman Allah ; “Hai kaumku,  jika kamu beriman kepada Allah, maka bertaq-
         walah kamu kepada-Nya saja, jika kamu termasuk orang-orang yang beraga-
         ma islam”.(Q.S. Yunus ; 84).

    4). Sahabat Nabi Isa a.s. minta disaksikan bahwa mereka adalah beragama islam,
    sebagaimana firman Allah ; “Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mere-
    ka (Bani Israil) dia berkata : Siapakah penolong-penolongku ke jalan Allah ?
    Para sahabatnya menjawab ; kamilah penolong-penolong agama Allah, kami
    beriman kepada Allah dan saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang
    beragama islam “.(Q.S. Ali Imran ; 52).

d. Allah menyatakan bahwa orang-orang yang tidak beragama islam (kafir) adalah
    seburuk-buruk makhluq melata di bumi ini, sebagaimana firmanNya dalam Q.S.
    Al-Anfal ayat 55.
e. Allah menyatakan bahwa orang-orang yang tidak beragama islam (kafir) akan di-
    pimpin oleh syetan, sebagaiman firmanNya dalam Q.S. Al-A’raf ayat 27.
f. Para sarjana telah membuktikan bahwa agama yang benar hanyalah agama islam.
    Seperti hasil studi yang dilakukan oleh Dr. Maurice Bucaille, setelah beliau me –
    ngadakan penelitian selama 20 tahun, kemudian ia mengatakan, “Agama Yahudi
    dan Kristen itu adalah tidak asli lagi, sejarahnya tidak terang, dan banyak per –
    nyataan yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Sedangkan agama islam
    masih asli, sejarahnya terang, tidak ada satu pernyataan pun yang daapat dikritik
    secara ilmiah, dan dia menganggap bahwa ilmu pengetahuan dan agama adalah
    saudara kembar dan wahyu yang murni dari Allah “.
  1. Fitrah Suci
          Dalam  Al-Qur’an   dinyatakan  bahwa  yang  membuat  manusia  menjadi
     kotor adalah dosa. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat
     Al-Muthaffifin ayat 14, yang artinya ; “Tidak, sekali-kali tidak, bahkan kotor
     (tertutup) hati mereka karena dosa-dosa yang mereka kerjakan”
              Ayat tersebut ditafsirkan oleh Nabi Muhammad SAW dengan sabdanya :
          “Bahwasanya seorang mukmin apabila mengerjakan satu dosa timbullah
           satu titik hitam di hatinya, tetapi jika dia bertaubat, menarik diri dari dosa
           tersebut dan meminta ampun kepada Allah, sucilah kembali hatinya itu, dan
           jika ditambahinya terus dosanya itu hingga tertutup olehnya hatinya, itulah
           yang disebut “rona” yang disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur’an Al –
         Karim”. (H.R. Ahmad).
             Berdasarkan hadits tersebut diatas dikatakan bahwa menurut islam, manu –
         sia yang belum atau tidak berdosa adalah suci. Manusia baru akan berdosa
         apabila ia baligh dan melanggar hukum Allah SWT. Karena menurut islam
         manusia  yang  belum  baligh  itu  belum  dibebani untuk  melakukan hukum
         Allah SWT. Sehubungan dengan ini, Nabi SAW bersabda ; “Yang bebas dari
         hukum itu ada tiga golongan, yaitu anak-anak hingga baligh, orang tidur
         hingga ia bangun, dan orang gila hingga ia sembuh”. (H.R. Abu Daud dan
         Ibnu Majah).                   

  1. Fitrah berakhlaq
             Ajaran islam menyatakan dengan tegas sekali bahwa Nabi Muhammad
     SAW. Diutus oleh Allah kepada manusia untuk menyempurnakan moral /
     akhlaq manusia. Sebagaimana sabdanya : “Aku diutus hanyalah untuk me-
     nyempurnakan akhlaq (moral) yang baik / mulia”. (H.R. Bukhari, Hakim,
     dan  Baihaqi).
              Hadits tersebut memberi pengertian bahwa pada mulanya manusia sudah
          Mempunyai fitrah bermoral / berakhlaq, sedangkan Nabi SAW diutus oleh
     Allah   adalah   menyempurnakan  atau    mengembangkannya.     Menurut
     Drijarkara S.J. bahwa “moral adalah tuntutan kodrati manusia”.
              Allah juga mengatakan bahwa manusia itu diciptakan dalam sebaik-baik
          Kejadian (Q.S. At.Tin : 4). Termasuk dalam sebaik-baik kejadian adalah
          Moralnya. Karena Nabi Muhammad mengatakan, “Sesungguhnya yang se –
          baik kamu ialah yang sebaik-baik kamu dalam hal akhlaq / moral”. (H.R.
          Muttafaq ‘Alaih). Jadi jelaslah bahwa manusia memang mempunya citra ber-
          moral / berakhlaq.
  1. Fitrah kebenaran
              Didalam Al-Qur’an, Allah menyatakan bahwa manusia mempunyai
         kemampuan untuk mengetahui kebenaran, sebagaimana firmanNya yang arti-
         nya “ Maka adapun orang-orang yang beriman, mereka mengetahui bahwa itu
         benar-benar dari Tuhan mereka”. 9Q.S. Al-Baqarah ; 26).  Pada ayat lain juga
         dinyatakan : “Dan bahwasanya orang-orang yang  diberi kitab itu mengetahui
         bahwa yang demikian itu benar dari Tuhan mereka”. (Q.S. Al-Baqarah ; 144)                        

              Karena manusia memiliki fitrah kebenaran maka Allah memerintahkan ke-
         pada  manusia  untuk  menyelesaikan  semua  persoalan yang timbul diantara
         mereka dengan kebenaran, sebagaiman firmanNya yang artinya : “Maka hen-
         daklah kamu beri keputusan diantara manusia dengan kebenaran”.
         (Q.S. Shaad  : 26).
              Ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa manusia mempunyai kemampuan
          untuk mencari dan memperaktekkan kebenaran. Endang Saifuddin Anshari
          memberi keterangan sebagai berikut : “Manusia adalah makhluq berpikir”.
          Berpikir adalah bertanya. Bertanya adalah mencari jawaban. Mencari jawa –
          ban adalah mencari kebenaran. Mencari jawaban tentang Tuhan, alam, dan
          manusia, artinya mencari kebenaran tentang Tuhan, alam, dan manusia. Jadi
          pada akhirnya, manusia adalah makhluq pencari kebenaran”.

  1. Fitrah Kasih Sayang.
              Menurut Al-Qur’an, dalam diri manusia telah diberi Allah fitrah kasih
          sayang. Hal ini sebagaimana tercermin dalam firmanNya yang artinya :
          ”Dan dia jadikan diantara kamu percintaan dan kasih sayang”.
          (Q.S. Ar-Rum : 21).
          Dalam ayat lain juga dinyatakan, “ Semoga Allah menimbulkan kasih sayang
          antara kamu dengan orang yang kamu musuhi diantara mereka”.
          (Q.S. Mumtahanah : 7).
              Karena manusia memiliki fitrah kasih sayang maka Allah memerintahkan
          kepada manusia, supaya saling berpesan dengan kasih sayang. Sebagaimana
         firmanNya : “Dan mereka saling berpesan dengan kasih sayang”.
         (Q.S. Al-Balad : 17).
              Berdasarkan pada ayat-ayat tersebut maka dapat dikatakan bahwa manusia
         sudah diberi fitrah kasih sayang oleh Allah SWT. Dan manusia memang ingin
         mengasihi dan dikasihi.

              Beberapa  fitrah  manusia  tersebut   dimuka,  mendorong  manusia   untuk
         melakukan perjanjian dengan Tuhan. Sebagai konsekuensi dari perjanjian itu,
         maka manusia dan jin pun diciptakan Allah dengan kewajiban tunduk dan
         menyembah kepadaNya saja, yaitu menganut paham agama tauhid. Dari sini
         kita dapat mulai menelaah kembali pandangan dasar kemanusiaan yaitu seba-
         gai berikut. (Drs. Muhaimin, MA, 2002, hlm : 286).
a.       Manusia diikat dalam perjanjian primordial dengan Tuhan, yaitu bahwa
manusia sejak dari kehidupannya dalam alam rohani, berjanji untuk mengakui Tuhan yang Maha Esa sebagai pusat oreantasi hidupnya.
b.      Kelahiran manusia dalam kesucian asal (fitrah), dan diasumsikan ia akan tumbuh dalam kesucian itu jika seandainya tidak ada pengaruh lingkungan.
c.       Kesucian asal itu bersemayam dalam hati nurani (nurani, artinya bersifat cahaya terang), yang mendorongnya untuk senantiasa mencari, berpihak, dan berbuat yang baik dan benar (sifat hanifiyah). Jadi, setiap pribadi mempunyai potensi untuk benar.
d.      Karena mansuia diciptakan sebagai makhluq yang lembah (anatara lain, berpandangan pendek, cenderung tertarik kepada hal-hal yang bersifat segera), maka setiap pribadinya mempunyai potensi untuk salah, karena “tergoda” oleh hal-hal yang menarik dalam jangka pendek. Oleh sebab itu, mansuia dibekali dengan akal pikirannya, kemudian agama dan terbebani kewajiban terus menerus mencari dan memilih jalan hidup yang lurus, benar dan baik.
e.       Manusia adalah makhluq yang etis dan moral; dalam arti, bahwa perbuatan baik buruknya harus dapat dipertanggung jawabkan, baik di dunia ini sesame manusia, maupun di akhirat di hadapan Allah SWT.
f.       Setiap pribadi manusia, dalm hidupnya di dunia ini, mempunyai hak dasar untuk memilih dan menentukan sendiri prilaku moral dan etisnya, tanpa hak memilih itu tidak mungkin dituntut pertanggungjawaban moral dan etis, daan manusia akan sama derajatnya dengan makhluq yang lain, jadi tidak akan mengalami kebahagiaan sejati.
g.      Setiap pribadi manusia adalah berharga, seharga kemanusiaan sejagad. Oleh sebab itu, barang siapa merugikan seorang pribadi, seperti membunuhnya tanpa alasan yang sah, maka ia bagaikan merugikan seluruh umat mansuia, dan barang siapa berbuat kepada seseorang, seperti menolong hidupnya, maka ia bagaikan berbuat baik kepada seluruh umat mansuia. Karena itu setiap pribadi mansuia harus berbuat baik kepada sesamanya, dangan memnuhi kewajiban diri pribadi yang lain dan dengan menghormati hak-hak orang lain, dalam suatu jalinan hubungan kemasyarakatan yang damai dan terbuka.
Labels: Pendidikan, Pengajaran

Thanks for reading Pengertian Religiusitas dan Sikap Religius Manusia. Please share...!

Back To Top