Implikasi demokrasi terhadap dunia pendidikan
Persoalan besar dalam UU No. 22 Tahun 1999 adalah
perubahan radikal dalam otoritas pengembangan pendidikan yang semula berada dalam
kekuasaan pemerintah pusat melalui depdiknasnya, kini terdelegasikan pada
pemerintah daerah dan kini perubahan radikal tersebut memperoleh penguatan
dengan di undangkannya UU No.20 Tahun 2003 tentang system pendidikan nasional (
Sisidiknas ), yang menegaskan dalam pasal 24 Ayat 1 bahwa pendidikan di
selenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai cultural.
Dan kemajmukan bangsa.
Poin penting dalam ayat ini adalah penegasan bahwa
pendidikan di selenggarakan secara demokratis, artinya bahwa keterlibatan
masyarakat dan otoritas pengelola serta
institusi-institusi pendukungnya akan
lebih besar dari pada pemerintah pusat.
Semangat demokrasi dalam perencanaan, pengelolaan dan
evaluasi penyelenggaraan pendidikan di sekolah, menurut James A. Beane dan
Michael W. Apple, berbagai kondisi yang sangat perlu dikembangkan dalam upaya
membangun sekolah demokrasi adalah:
1.
Keterbukaan saluran ide dan gagasan, sehingga semua
orang bias menerima informasi mungkin.
2.
Memberikan kepercayaan kepada individu-individu dan
kelompok dengan kapasitas yang mereka miliki untuk menyelesaikan berbagai
persoalan sekolah.
3.
Menyampaikan kritik sebagai hasil analisis dalam proses
penyampaian evaluasi terhadap ide-ide, problem-problem dan berbagai kebijakan
yang di keluarkan sekolah.
4.
Memperlihatkan kepedulian terhadap kesejahteraan orang
lain dan terhadap persoalan-persoalan public.
5.
Ada
kepedulian terhadap harga diri, hak-hak individu-individu dan hak-hak
minoritas.
6.
Pemahaman bahwa demokrasi yang di kembangkan belumlah
mencerminkan demokrasi yang ideal, sehingga demokrasi harus terus dikembangkan
dan bias membimbing keseluruhan hidup manusia.
7.
Terdapat sebuah institusi yang dapat terus
mempromosikan dan mengembangkan cara-cara hidup demokratis[1]
Inti dari teori James A Beane dan Miachael W. Apple di
atas adalah bahwa sekolah demokratis itu akan terwujud jika semua informasi
penting dapat di jangkau semua stake holder sekolah, sehingga semua
unsur tersebut memahani arah pengembangan sekolah, berbagai problem yang
dihadapinya, serta langkah-langkah yang sedang dan akan di tempuh. Dengan
demikian, mereka akn busa menganalisis relevansi kegiatan-kegiatan tersebut,
memahami, mengkritisi dan memberi masukan,
serta menentukan kontribusi serta partisipasi yang akan diberikannya
untuk kesuksesan pelaksanaan program-program sekolah tersebut.
Berbagai kebijakan pemerintah yang relatif membawa
angin segar bagi pengembangan pendidikan islam tersebut kurang dapat di
implementasikan dengan baik. Hal ini di sebabkan belum diselesaikannya
persoalan mendasar yang terjadi dalan dunia pendidikan nasional, terutama
madrasah dan pesantren, yaitu:
Pertama, telah terjadi dualisme dalam system
pendidikan nasional, bukan saja antar lembaga pendidikan dibawah Departeman
agama dengan lembaga dibawah Departemen pendidikan nasional, ttapi juga dengan
lembaga-lembaga pendidikan dibawah departemen lainnya.
Kedua, kusalifikasi dan kompetensi tenaga pengajar
pada lembaga pendidikan harus madarasah dan pesantren masih rendah, sering terjadi
seorang guru/ ustadz harus mengqajar
bidang studi yang sama sekali bukan keahliannya
atau bukan pengangakatan guru tidak memperhatikan kualifikasi ijiazah
yang dimilikinya.
Ketiga, terjadi di kotomi keilmuan dikalangan siswa
madarasah dan pesantren. Dikotomi ini tida terlepas dari persepsi ulama dan
para pengelola penidikan Islam terhadap ilmu – ilmu umum. Kurangnya penghargaan
terhadap ilmu –ilmu umum ini masih dijumpai sampai sekarang, meski
jumlahnya sudah semakin kecil.
Keempat, kondisi lingkungan persekolahan dalam
mengeimplementasikan pendidikan yang bersifat non akademik relatif rendah.
Lingkungan masyarakat kita selama ini memaknai pendidikan secara reduktif,
yakni sebatas aktifitas pembelajaran kognisi saja, sehingga ketika muncul
gagasan pendidikan non akademik, masyarakat kurang mendukungnya. Kondisi ini
terjadi karena di lembaga – lembaga sekolah tidak dapat menterjemahakan
konsep-konsep metodologi pada tataran sekolah.[2]
Permasalahan – permasalahan di atas, ditambah
persoalan lain seperti rendahnya pendanaan pendidikan, terbtasnya sarana dan
prasarana, proses pembelajaran dan lain – lain. Manakala tidak segera
diselesaikan, akan mengakibatkan kendala
serius dalam pengembangan mutu pendidikan Islam sebagai bagian dari system
pendidikan nasional.
Di dalam
kehidupan bermasyarakat dewasa ini khususnya di dalam masa transisi era
reformasi kita lihat terjadi berbagaiakses di dalam kehidupan
berdemokrasi.Kebebasan berpikir, kebebasan mengemukakan pendapat, diberikan
benar –benar. Suatu masyarakat demokratis dapat dibangun melalui hasil
pendidikan dari manusia cerdas. Hanya manusia cerdas yang melihat implikasi
moral disetiap keputusan yang ditarik dari dialog bersama.
Poses belajar mengajar didalam pendidkan hendaknya mengembangkan kemampuan reklektiftersebut
dengan mengakses berbagai jenis informas, dan informasi yang memadai itulah dia
mengadakan pertimbangan – pertimbangan untuk mencapai keputusan yang bermanfaat
sehingga demokratis sejalan dengan pembangunan
di dalam pendidikan yang demokratis pula.
Belajar hidup bersama dalam perdamayan, hak-hak asasi
manusia, mempraktekkan demokratis dan mencari pemangunan berkelanjutan
memerlukan sutu pendekatan yang masuk akal dan terpadu untuk menjalin
keterlibatan warga belajar yang mempuanyai dampak pada setiap warga belajar
sebagai perorangan. Pendekatan ini akan melibatkan suatu kerangka kerja
kurikulun terpadu, strategi- strategi pembelajaran yang cocok, berbagai jenis
pendekatan, teknik-teknik dan sumberdaya, akses pada dokumen-dokomen kunci
internasional dan keterlibatan langsung para pesrta didik dalam mendarah
dagingkan dan mempraktekkan nilai – nilai ini dalam situasi-situasi yang nyata.
Labels:
Pendidikan,
Pengajaran
Thanks for reading Implikasi demokrasi terhadap dunia pendidikan. Please share...!